Bismillahirahmanirahim.
Sahabatku semua yang dirahmati Allah, selamat datang di kota para wali, kota demak dan kudus adalah kota kelahiran sekaligus tempat saya mencari ilmu, kedua kota ini adalah kota yang tak bisa dilewatkan seandeanya engkau ada kunjungan ziarah walisanga. Beberapa sumber sejarah menyebutkan Islam masuk ke nusantara (Indonesia dulu) pada abad 7 Masehi. Dalam perkembangannya, Islam kemudian menjadi agama yang dianut masyarakat Nusantara dan kerajaan-kerajaan saat itu. Kehadiran Islam telah mempengaruhi budaya Nusantara, baik fisik ataupun non fisik. Salah satunya pengaruh dalam arsitektur bangunan tempat ibadah kaum muslimin.
Penduduk pulau Jawa, yang pertama memeluk Islam adalah Pangeran Jay Sima (Suku Jawa) dan Rakeyan Sancang (Suku Sunda).
Hubungan komunikasi antara tanah Jawa dan Jazirah Arab, sudah terjalin cukup lama. Bahkan di awal Perkembangan Islam, telah ada utusan-utusan Khalifah, untuk menemui Para Penguasa di Pulau Jawa.
Pada tahun 674M semasa pemerintahan Khilafah Islam Utsman bin Affan, beliau mengirimkan utusannya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tanah Jawa, yakni ke Jepara (pada saat itu namanya Kalingga).
Kalingga pada saat itu, di pimpin oleh seorang wanita, yang bernama Ratu Sima. Dan hasil kunjungan duta Islam ini adalah, Pangeran Jay Sima, putra Ratu Sima dari Kalingga, masuk Islam (Sumber : Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya sampai sekarang; Karangan H. Zainal Abidin Ahmad, Bulan Bintang, 1979)
lalu ada apa di kota demak dan kudus ? kenapa demak disebut kota wali sedangkan kudus kota kretek
DEMAK KOTA WALI
Julukan Demak, sebagai kota wali, mengacu pada Masjid Agung Demak, sebagai salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Masjid dipercaya sebagai tempat berkumpulnya para wali atau ulama yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Atau kita mengenalnya dengan Sembilan wali atau walisongo.
Demak kota wali merupakan salah satu bentuk pencitraan kota yang terbentuk karena latar belakang sejarah penyebaran agama Islam. Selain sebagai pusat awal penyebaran Islam di Jawa, Demak juga merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa, tepatnya sejak abad ke-15, dengan para dewan keagamaan walisongo.
Konon, sebelum bersyiar Islam ke berbagai pelosok daerah di Jawa, walisongo selalu bermusyawarah di masjid yang didirikan oleh Raden Patah, raja pertama dari kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi. Bersama walisongo pula masjid ini bisa berdiri kokoh. Di masjid ini walisongo selalu merencanakan pembagian wilayah mana saja yang akan didatangi dalam menyebarkan agama Islam. Dari cerita tersebut maka Demak mendapat julukan sebagai kota wali.
KUDUS KOTA KRETEK
Julukan kota kretek untuk kota Kudus di Provinsi Jawa Tengah, karena Kudus merupakan penghasil rokok kretek terbesar di Jawa Tengah. Ternyata embel-embel kretek berasal dari bunyi rokok yang gulungan cengkeh dan tembakaunya menggunakan daun jagung yang sudah kering. Dan ketika dihisap keluar bunyi kretek-kretek dari daun jagung yang kering tersebut.
Konon, pembuatan rokok dengan cara diliting tersebut pertama kali dilakukan seorang warga Kudus bernama Haji Djamari sekitar abad ke-19. Penduduk asli Kudus ini tengah menderita sakit dada. Biasanya Djamari mengobati sakit dadanya dengan menggunakan minyak cengkeh, dan hasilnya sakit dadanya sembuh. Lantas Djamari bereksperimen mengolah cengkeh dicampur tembakau dan dilinting menggunakan daun jagung kering dijadikan rokok.
Ternyata permintaan rokok yang dianggap sebagai obat tersebut sangat tinggi. Rokok temuan Djamari tersebut lantas dinamai rokok kretek, bersumber pada bunyi daun jagung kering yang terbakar. Konon Djamari meninggal pada 1890, tetapi temuannya itu terus berkembang.
Karena permintaan besar terhadap rokok kretek, warga kudus lain pun melakukan hal samadan menjualnya. Selain rokok kretek yang dibuat di rumah-rumah warga menggunakan tangan, juga ada rokok kretek yang dibuat pabrik dengan menggunakan mesin. Oleh karena itu, jumlah merek rokok kretek di Kudus berkisar ratusan, atau jika dengan nama rokok yang sudah bangkrut bisa mencapai ribuan merek rokok.
1. ada 2 masjid tertua di indonesia
Masjid Agung Demak adalah salah satu mesjid yang tertua di Indonesia. Masjid ini terletak di desa kauman, demak, jawa tengah. Masjid ini dipercayai pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam, disebut juga Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di tanah Jawa khususnya dan INdonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari Kesultanan Demak, pada sekitar abad ke-15 masehi.
Masjid ini mempunyai bangunan-bangunan induk dan serambi. Bangunan induk memiliki empat tiang utama yang disebut Saka Guru. Tiang ini konon berasal dari serpihan-serpihan kayu, sehingga dinamai ‘saka tatal’ bangunan serambi merupakan bangunan terbuka. Atapnya berbentuk limas yang ditopang delapan tiang yang disebut saka majapahit.
Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam raja-raja Kesultanan Demak dan para abdinya. Di sana juga terdapat sebuah museum, yang berisi berbagai hal mengenai riwayat berdirinya Masjid Agung Demak.
Mesjid Menara Kudus (disebut juga sebagai Mesjid Al Aqsa dan Mesjid Al Manar) adalah mesjid yang dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 1549 masehi atau tahun 956 hijriah dengan menggunakan batu dari Baitul Maqdis dari Palestina sebagai batu pertama dan terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mesjid ini berbentuk unik, karena memiliki menara yang serupa bangunan candi. Masjid ini adalah perpaduan antara budaya Islam dengan budaya Hindu
2. ada 3 wali yang dimulyakan Allah (Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria)
Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.n
Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus
Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.
Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
sahabatku yang dirahmati Allah.
Wali songo begitu berkontribusi mendakwahkan Islam dinusantara. Mereka berhasil mengislamkan masyarakat dengan tidak memakai cara arogansi dan kekerasan. Bahkan kerajaan Majapahitpun bisa tunduk tanpa adanya peperangan,bom meledak serta pertumpahan darah.
Apa rahasianya?
Hal itu lebih disebabkan karena para Wali songo tidak cuma menyebarkan Islam pada segi syar’iat dan taukhid semata. Selain itu mereka juga membarengkan serta meneladankan akhlak atau etika yang Islami.
subhanallah, selamat datang di kota para wali
semoga bermanfaat.
marilah kita berdiskusi dan mengkajinya bersama