innalillahi wainna ilaihi rojiun 3x
KH Ahmad Warsun Moenawwir, penyusun kamus Bahasa Arab -Indonesia “Al-Munawwir” yang masyhur itu berpulang pada usia 79 tahun.
Kyai Warsun wafat pada Kamis Pahing, 7 Jumadil Akhir 1434 H/18 April 2013 M tepat 3 hari sebelum peringatan haul ke-74 KH. M. Moenawwir yang diadakan Ahad, 21 April 2013. Kondisi suami dari NY. Hj. Husnul Khotimah ini sebelumnya sudah sering sakit-sakitan karena faktor usia.
Beliau lahir pada Jum’at Pon, jam 00.30, tanggal 22 Sya’ban tahun Wawu (1865) 30 Nopember 1934/20 Sya’ban 1353 H.
Berita wafatnya Kyai Warsun mulai tersebar sejak pukul 06.00 pagi tadi. berdasarkan informasi yang diterima Krapyak.org, selepas shubuh tadi beliau sempat di bawa ke rumah sakit. Namun Allah berkehendak, Kyai Warsun menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Kyai Warsun meniggalkan 1 istri dan 2 orang putra, serta 4 orang cucu. Jenazah akan dimakamkan di makam Dongkelan berdampingan dengan keluarga Pondok Pesantren Al-Munawwir yang lain pada Kamis, 18 April 2013, pukul 16.00 wib. Selamat jalan Guru, karyamu akan terus hidup sebagai amal jariyah yang selalu mendampingimu.
Semasa hidup, Ahmad Warson Munawwir sempat menjadi pengasuh generasi Hybrid NU. Ia mengkawinkan pendidikan umum dan pesantren ‘ndeso’. Ia juga sempat menjadi Ketua Dewan Syuro DP PKB DIY dan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
cerita menarik yang patut diteladani
AL MUNAWWIR
Naskah kamus sudah selesai ditulis, tapi Kyai Warsun tak kunjung menyerahkannya kepada penerbit untuk dicetak. Ia membawa naskah itu ke Rembang untuk ditunjukkan kepada Kyai Bisri Mustofa,
“Mohon diperiksa, Kyai, kalau-kalau masih ada kekurangannya”.
Kyai Bisri malah tak mau menyentuh naskah itu.
“Buat apa?” katanya, “sudah jadi begini ya langsung dicetak saja!”
Kyai Warsun meringis bimbang,
“Lha wong Al Munjid saja (kamus bahasa Arab ensiklopedik karya dua pendeta Kristen asal Lebanon, Luois Ma’louf dan Bernard Tottle –Terong Gosong) masih banyak kesalahannya, apalagi cuma bikinan saya ini…”
“Lha iya!” Kyai Bisri menyergah, “Walaupun masih banyak kesalahan diterbitkan ya nyatanya ‘ndak apa-apa to? Tetap banyak manfaatnya juga to?”
Kyai Warsun garuk-garuk kepala.
“Guuus, Gus…”, Kyai Bisri melanjutkan, “sampeyan itu sudah mencurahkan kemampuan habis-habisan untuk mengumpulkan, meneliti, menyusun, menulis, sampai jadi naskah sebegitu tebalnya… kurang apa lagi? Sudah sangat besar jasa sampeyan. Nah, nanti kalau sudah diterbitkan, ya gantian tugasnya pembaca untuk meneliti kalau ada kekurangannya. Biar pembaca yang mengoreksi. Kalu perlu, biar orang lain menyusun kamus baru untuk menyempurnakan kamus sampeyan ini… Lha sampeyan nyusun kamus ini kan maksudnya juga mengoreksi dan menyempurnakan Munjid to?”
Kyai Warsun akhirnya medapatkan kemantapan untuk menerbitkan naskah itu. Atas saran Kyai Ali Ma’shum, kakak iparnya, kamus itu diberi judul “Al Munawwir”, tafa-ulan kepada Kyai Muhammad Munawwir, ayahandanya sendiri.
“Judul kitab yang enak ya seperti kamusnya Warsun itu, sederhana dan gampang diingat”, kata Kyai Ali kepadaku suatu kali, “jangan seperti embahmu… bikin judul sukanya yang aneh-aneh… ‘Al Ibriz…. (artinya: emas murni– Terong Gosong) Mbok tadinya kasih judul ‘Al Bisri’ gitu saja kan enak to…?”
Lahumul Faatihah…
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, telah wafat guruku, penyusun Kamus Al-Munawwir: KHA Warsyun Munawwir. Mohon doa dan Fatihah untuk beliau ( Gus Mus )
” Selamat jalan wahai guru kami. Selamat menikmati kehidupan baru dalam taman surga. Air mata penuh cinta mengiringi senyumanmu menghadap Tuhanmu. Engkau rawat kami dengan teladan yg indah. Mohon maaf jika kami tdk tumbuh seindah yg engkau bayangkan….Canda tawamu akan selalu terkenang. Istirahatlah senyaman pengantin… Semoga Allah selalu menyayangimu.
biridhoillah wabisyafa’ati rosulillah saw lahumul fatikhah………!!
Lautan manusia turut mengantarkan jenazah almarhum Romo KH. Ahmad Warson Munawir. Tampak seorang ulama besar NU yang merupakan teman karib almarhum, Gus Mus, ikut mengangkat keranda jenazah almarhum menuju ke maqbarah. Alam pun ikut menangis atas kepergiannya.
Saya yakin beliau ke alam barzakh untuk istirahat. Sedangkan kita? belum tentu dianggap istirahat karena bisa jadi siksa kubur yang menyambut kita. Allahumma a’idzna minhu Aamiin.
Untuk almarhum al-Fatihah…
semoga bermanfaat.
marilah kita berdiskusi dan mengkajinya bersama