bismillahirahmanirahim.

sahabatku semua yang dirahmati Allah, hidup sering kali perbedaan sehingga menjadi kita benci kepada seseorang, bahkan marah, adu fisik dan sebagainya. Hidup di dunia ini kita harus berhati-hati dalam bertindak atau berbuat sesuatu, karena jika kita melakukan kesalahan sedikit saja , pasti hasil yang kita dapat tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan , kawan siapakah musuh kita? sesama muslim kita tidak boleh bermusuhan karena sejatinya kita ini bersaudara.. namun kepada orang yang mencoba menghancurkan islam itulah musuh kita yang sebenarnya? bagaimana cara kita menanggapi musuh kita? kawan adakah yang tahu…

sebuah kisah menarik bacalah dengan seksama..

Seorang ayah dengan tiga anak suatu saat mengumpulkan anak-anaknya, “wahai anak-anakku, berkumpullah”. “Aku memiliki mutiara berharga dan mulia, dan akan aku berikan kepada salah satu diantara kalian yang pernah mengerjakan perbuatan paling mulia”. Baik, siapa diantara ananda yang pernah melakukan perbuatan mulia?

Anak pertama berdiri dan bercerita: “ayahku, aku pernah dititipi benda berharga oleh seorang yang tak aku kenal, saat ia pergi aku berfikir bisa saja aku bawa lari benda tersebut kemudian aku jual, namun aku tidak lakukan itu, dan saat lelaki itu hendak mengambilnya, maka aku berikan kepadanya.” Sang ayah tersenyum, “bagus anakku, namun itu adalah amanah, dan amanah adalah kewajiban, dan melaksanakan kewajiban bukanlah perbuatan paling mulia”.

Anak keduapun bangkit dan berkisah: “Ayahku, aku pernah melihat seorang anak yang tidak aku kenal, ia berjalan di tepi sungai lalu ia terpeleset dan tenggelam di sungai. Akupun segera loncat dan menolongnya”. Sang ayah tersenyum bangga: “alhamdulillah anakku, itu sebuah perbuatan ksatria yang menolong orang lemah, namun perbuatan seperti itu kewajiban bagi kita, dan melaksanakan kewajiban bukanlah perbuatan paling mulia”.

Dengan agak ragu anak ketiga bangkit: “Ayah, aku pernah melihat musuhku terjerembab di jalan sehingga masuk ke sungai, aku semula ragu untuk menolongnya, sebab jika aku menolongnya barangkali ia akan menebaskan pedang yang ia bawa, namun aku beranikan diri menolongnya, meski dengan resiko celaka, namun ternyata ia berterima kasih dan berbaikan denganku”. Sang ayah berbinar dan tersenyum lebar mendengar cerita anaknya. “Wahai anakku, inilah perbuatan mulia, tidak ada yang mampu melakukannya kecuali manusia mulia juga, dan engkau berhak memiliki mutiara ini”

Ini adalah sebuah kisah sederhana tentang perbuatan mulia. Melaksanakan kewajiban bukanlah kemuliaan, andai sebuah masyarakat dan pejabat sudah meletakkan kewajiban pada derajat kemuliaan atau merasa diri mulia dan harus dimuliakan karena melaksanakan kewajiban, maka hal tersebut menunjukkan telah rendahnya moral bangsa tersebut.

(Diadaptasi dari buku silsilatu at-ta’lim al-lughah al-arabiyah)

kawanku semua yang dirahmati Allah, Suatu ketika pelayan Imam Hasan Al-Bashri menyampaikan bahwa seseorang telah menjelek-jelekkan namanya. Mendengar hal tersebut, sang Imam kemudian memanggil pelayan dan memintanya untuk memberikan kurma pada orang tersebut. Pelayan berkata, “wahai imam, bukankah dia telah menjelekkanmu di hadapan orang banyak. Tapi kenapa engkau malah memberinya kurma?” Sang imam pun menjawab, “Bukankah sudah sepantasnya aku memberikan hadiah bagi orang yang telah membuat diriku di sisi Allah SWT”.

lainya hal imam hasan al basri lain pula cara rosulullah saw…..

“Apa maksud semua ini wahai Jibril?” Tanya Rasul SAW pun ketika turun ayat: “Jadilah engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh” (Al-A’raf: 199).  Jibril pun menjawab, “Wahai Rasul Allah, sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu untuk memaafkan orang yang menzalimimu, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, dan menyambung silaturahim kepada orang yang memutuskannya denganmu”.

Jadilah pribadi yang tenang dan menenangkan. Bukan pribadi yang gelisah dan penuh amarah. Tenang bukan berarti tidak mampu, tenang bukan berarti kalah, tenang bukan berarti lambat. Tenang adalah seni menyampaikan kritikan dengan bahasa yang lembut, tenang adalah penyampaian fakta keras dengan cara yang lembut, tenang adalah penolakan berat dengan cara yang ringan. Itulah yang ditunjukkan oleh Rasul SAW ketika penduduk Thaif melempari beliau dengan batu. Beliau malah berdoa, “Allahummahdii qawmii fainnahum laa ya’lamuun” (Ya Allah berilah hidayah kepada kaumku ini, karena sesungguhnya mereka tidak tahu apa-apa).

Memang bukan perkara yang mudah untuk menahan marah atau emosi. Apalagi kemudian membalasnya dengan hal yang sebaliknya. Tidak semua orang mampu melakukannya. Sehingga ketika Abdullah bin Amr menanyakan hal apakah yang bisa menjauhkannya dari murka Allah? Rasulullah menjawab: “Laa taghdhab (Janganlah kau marah)” (HR Imam Ahmad)

Setiap orang punya seribu alasan untuk berbeda sikap. Tapi setiap orang sebenarnya juga memiliki jutaan alasan untuk bisa saling mengerti akan perbedaan tersebut. Ketika energi positif menjadi nyawa bagi dua kutub yang berbeda, toleransi dan saling pengertian bisa disepakati. Sikap positif inilah yang mestinya ditiupkan pada jiwa-jiwa yang terlibat dalam suatu perbedaan pendapat dan perbedaan sikap.

Sebuah perbedaan, apapun bentuknya ; dari perbedaan warna kulit, bahasa, hingga perbedaan aqidah atau keyakinan sekalipun, semua itu adalah sunnah kauniyah yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT atas makhluknya. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman : “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. (QS Huud 118-119) Namun, meskipun perbedaan adalah sebuah sunnah kauniyah, bukan berarti kita tidak diperintahkan untuk berusaha menghindarinya. Ini sebagaimana ada pada kekufuran dan maksiat, yang tidak akan menimpa seseorang kecuali atas takdir Allah SWT. Meski demikian kita semua diperintahkan untuk menghindarinya, karena pada dua hal itu tetap saja mengandung unsur kehendak (irodah) dan pilihan manusia (al-ikhtiyar). Bahkan secara umum, para ulama menyatakan bahwa manusia wajib berusaha menghindari sunnah kauniyah yang bersifat buruk (seperti maksiat atau kekufuran).

kawan, barangkali dengan berbuat baik kepada orang yang membeci kita, Allah turunkan hidayah kepadanya, hingga tersentulah hatinya… dan pasti persaudaraan kita akan terjaga..

semoga silaturahmi kita tidak pernah putus, semoga ukhuwah kita semakin mantap..

Berbeda itu bukan sikap yang mesti dihindari. Sebab kita tak mungkin bisa menghindarkan diri dari perbedaan. Perbedaan adalah suatu kondisi yang tak harus diseragamkan. Perbedaan tercipta karena hidup adalah harmoni.

Perbedaan adalah hakikat alam semesta. Perbedaan ada di mana-mana. Perbedaan adalah rahmat untuk seluruh alam semesta.

Bagaimana menurut engkau kawan?
semoga bermanfaat