sedekah ikhlasbismillahirahmanirahim

sahabatku semua yang dirahmati Allah. lika – liku kehidupan berjalan sesuai jalur kehidupan masing-masing, yang menjadi guru tetap menjalankan aktivitasnya menjadi guru, yang menjadi pelajar sedang bersibuk ria menerima pelajaran disekolah, yang bedagang tetap menjajakan daganganya, yang anggota dewan terus saja berdebat menentukan kebijakan negara semua berjalan sesuai dengan jalurnya, begitupun dengan alam semesta yang tetap setia berjalan mengikuti alurnya, matahari tetap bersinar, matahari tetap berputar, bintang-bintang tetap bersinar dan bumi dengan setia berputar mengitarinya, andai saja bumi berhenti berputar beberapa menit saja, tentu kejadian fatal yang akan menimpa alam manusia, alam dengan semua yang terisi didalamnya setia dan ikhlas menjalankan titah tuhannya.

taukah engkah tahu akan penciptaan Seekor kupu-kupu menjadi indah dan enak dipandang ? semua itu bukan melalui proses yang singkat tapi melalui proses yang sangat panjang, dari telur menjadi ulat, menjadi kepompong dan berubah menjadi kupu-kupu yg indah. Begitu juga kita sebagai manusia kalau kita ingin sukses harus butuh proses, kerja keras terakhir bersyukur. bisakah ? sesulit-sulit apapun jika kita belum pernah mencobanya, jangan pernah menyerah betul gak kawan ?

sebuah kisah menarik bacalah semoga diambil manfaatnya…

Datang seorang laki-laki kepada Imam Abdullah Al Haddad meminta izin untuk membangun masjid.

Imam Al Haddad menjawab dengan tegas,

“Jika niatmu membangun ikhlas karena Allah, aku tidak akan menghalangi. Namun jika tidak ikhlas, tidak usah membangun!”

“Ya. Niat saya sudah ikhlas.” kata lelaki itu meyakinkan beliau.

Imam Al Haddad lantas mengajukan pertanyaan,

“Pikirkanlah. Jika kamu membangun masjid dengan susah payah. Dana yang banyak juga sudah kamu keluarkan. Pada saat masjid sudah berdiri megah, namamu tidak disebut dalam daftar orang yang berjasa mendirikan masjid itu. Bahkan diatasnamakan orang lain, sehingga disebut ini adalah masjidnya si anu. Apakah kamu bersedia?”

Lelaki itu berpikir sejenak, kemudian berkata,

“Saya tidak sanggup.”

“Kalau begitu gagalkanlah. Niatmu belum ikhlas.” pungkas beliau.

* * *

Kisah ini bukan dimaksud untuk menggembosi anda untuk melakukan amal baik. Namun kiranya dapat menjadi renungan dan introspeksi diri, agar kita senantiasa mengedepankan keikhlasan hati dalam beribadah dan berbuat baik kepada sesama.

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk selalu IKHLAS.

sahabatku semua yang dirahmati Allah.

bandingkan dengan kisah ini.

Imam Ibnu Ruslan menyelesaikan penulisan kitab Zubad di atas sebuah kapal yang berlayar di laut lepas. Beliau di situ bersama banyak orang. Di saat orang lain tidur, makan dan minum, beliau sendirian sibuk merampungkan kitab berupa syair-syair dalam fan fikih tersebut.

Pada saat kitab Zubad selesai ditulis, Imam Ibnu Ruslan mengikatkan batu di bagian atas dan bawah kitab itu. Beliau ingin melempar kitab itu ke laut. Orang-orang di kapal saat melihat itu segera mencegahnya. Mereka merasa sayang, hasil kerja keras tulisan buah karya seorang ulama dibuang begitu saja. Namun beliau tetap bersikukuh dengan niatnya.

“Biarkanlah. Jika kitab karanganku ini benar-benar ditulis ikhlas karena Allah, air laut tidak akan mampu merusaknya.” kata beliau mantap.

Imam Ibnu Ruslan yakin akan kebenaran firman Allah dalam surat Al Qashash ayat 88,

كل شيء هالك إلا وجهه

Sebagian ahli tafsir mengartikan ayat tersebut dengan, setiap apapun akan hancur binasa kecuali diniatkan ikhlas karena Allah.

Disebabkan keikhlasan pengarangnya, ombak berhasil membawa kitab tersebut ke tepi laut. Di tempat tersebut ada banyak nelayan mencari ikan. Kitab tersebut atas takdir Allah akhirnya tersangkut di jaring salah satu nelayan.

Nelayan tersebut kemudian membawa kitab yang ditemukannya diserahkan kepada salah seorang ulama di daerah itu. Ulama itu menerima kitab misterius tersebut dengan perasaan takjub.

Akhirnya dibacalah lembar demi lembar kitab yang diterimanya itu. Dia kagum dengan keindahan susunan dan bobot kualitas kitab madzhab Syafi’i itu. Ulama tersebut lantas memerintahkan untuk menulis dan menyebarluaskan kitab asing tersebut. Akhirnya kitab tersebut berkat keikhlasan pengarangnya, tersebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Hal itu disitir oleh Ibnu Ruslan dalam Zubadnya,

sahabatku semua yang dirahmati Allah.

buya yahya pengasuh majelis al bahjah cirebon memberikan tausyiah berikut :

Kadang seorang menjadi sombong bukan dengan harta dan pangkat, akan tetapi sombong dengan amal baik dan akhirat. Sedikit memahami ilmu hadits, berikut riwayat dan syarahnya merasa dirinya lebih hebat dari orang lain. Sehingga dengan mudahnya seseorang menyalahkan orang lain dan berkata “Mereka itu orang-orang bodoh tidak mengerti hadits seperti aku “.

Yang faham tentang fiqih, dengan lancangnya mengomentari orang lain dengan nada merendahkan, “Kasihan mereka itu orang bodoh dan tidak mengerti fiqih seperti aku”. Sedikit menghafal al Qur’an, lalu dengan mudahnya meremehkan orang lain dan berkata “Mereka orang-orang bodoh yang tidak hafal al Qur’an seperti aku”. Terjun di dunia da’wah mulai banyak pengikut dan pengagumnya lalu mereka merasa bahwa ia telah melakukan suatu tugas besar, kemudian mulai menghinakan dan merendahkan yang lainnya dan berkata “Kasihan mereka itu pada tidak bergerak di dalam da’wah seperti aku” atau “cara berdakwah mereka tidak sehebat caraku”. Yang sudah bisa bangun malam, bertahajud, melakukan puasa, lalu memandang orang lain dengan picik dan rendah lalu berkata “Kasihan mereka punya ilmu, tetapi tidak pernah bangun malam seperti aku.”, “Tidak pernah berpuasa seperti aku!” dan seterusnya.

“Aku” yang dibesarkan, “Aku” yang diagungkan. Tidak tahu kalau makhluk pertama yang mengagungkan ke-Aku-annya adalah iblis, saat berkata “Aku lebih baik dari manusia”. Sungguh, semestinya seseorang tidak akan sombong dengan akhirat. Seharusnya seseorang tidak bisa sombong dengan ketaatannya dan keistiqomahan. Jika ada yang sombong dengan hafalan Al-Qur’annya atau sedikit ilmu fiqihnya atau kiprahnya di dunia dakwah, hal itu disebabkan karena adanya sesuatu yang salah di dalam mereka menjalani ketaatan. Yang telah melakukan sebuah amal kebaikan lalu meremehkan orang lain maka semestinyalah ia segera koreksi amal-amal tersebut. Bisa jadi karena telah ada riya di dalam beramal (pamrih yang selain Allah). Barangkali karena ketidakmengertian akan hakekat sebuah amal kebaikan. Mungkin saja kecintaannya kepada pangkat dan dunia telah melalaikan akan maksud sebuah ilmu dan amal.

Sebuah kelompok atau seseorang yang tersesat dalam ilmu dan amalnya akan ditandai dengan kesombongan akan ke-Aku-annya dan begitu mudahnya meremehkan yang lainnya. Maunya menyalahkan, memfitnah dan menggunjing kelompok atau orang lain. Atau paling tidak akan menyimpan kebencian kepada yang lainnya atau adanya kegembiraan tersembunyi jika ada musibah menimpa orang atau kelompok lain. Tiada sapa, teguran beradab, prasangka baik dan upaya indah untuk menjadikan yang lainnya baik.

Sebaliknya, ahli ilmu dan amal baik yang sesungguhnya dan ahli istiqomah yang tulus akan semakin tawadhu’ dan merendah kepada Allah dan kepada sesama manusia. Yang telah mempunyai ilmu dengan ketulusan akan selalu melihat orang lain yang terjerumus dengan mata kasih dan rindu untuk bisa menolongnya. Senantiasa memohon kepada Allah agar dirinya menjadi sebab baiknya orang lain, agar pintu hidayah segera dibukakan untuknya. Kepada orang yang berilmu lainnya akan sangat menghargai dan mencintainya. Jika ada yang berhasil dari mereka ia akan berbangga dan bersyukur. Dan disaat melihat orang lain yang berilmu belum terlihat berhasil atau prestasinya di bawah keberhasilannya akan ia bantu dan perjuangkan agar bisa maksimal dalam keberhasilannya.

Pernahkah disaat Allah memuliakan kita dengan hafalan Al-Qur’an atau ilmu fiqih atau ilmu hadits atau kemudahan dalam berdakwah lalu kita senantiasa takut jika ini semua menjadi tidak bermanfat dan tidak diterima oleh Allah? Dan alangkah sia-sianya usaha kita jika buah ilmu kita tidak bisa kita petik di akhirat. Alangkah mengerikannya jika gelar Ustad, Kiai, Orang soleh, Penghafal Al-Qur’an, Ahli fiqih, Ahli hadits dan lain sebagainya hanya kita peroleh di dunia, sementara di akhirat kita didustakan dan ditolak gelar-gelar tersebut oleh Allah SWT.

Pernahkah kita merenung, apakah ilmu dan amal yang diberikan oleh Allah kepada kita telah menjadikan kita semakin dekat dan takut kepada Allah atau justru kita bertambah kurang ajar dan jauh dari Allah? Pernahkah kita berfikir apakah amal dan ilmu kita menjadikan kita semakin mesra, indah dan saling mencintai kepada sesama? Adakah rasa kasih dan sayang terpancar dari ilmu kita disaat kita melihat saudara kita yang terjerumus dalam nistanya kemaksiatan?.Atau justru amal dan ilmu tersebut telah menjadikan kita semakin sombong, memandang picik dan menghinakan mereka? Sudahkah kita insyaf untuk menjadi hamba yang beruntung yang senantiasa berfikir bagaimana amal dan ilmu kita bisa diterima oleh Allah? Atau justru gebyar keberhasilan ilmu dan amal kita hanya menjadikan kita orang yang selalu berfikir bagaimana berilmu dan beramal saja tanpa ada kerinduan kepada Allah? Dan pernahkah selama ini kita berfikir untuk merenungi ini semua?.
Wallahu alam bisshowab…