sahabatku semua yang aku sayangi karena Allah, aksi terorisme di indonesia yang tak kunjung habis, mengundang reaksi yang aneh dari berbagai pihak yang berkecimpung menanganginya, seperti yang telah kita ketahui Usulan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) agar para pemuka agama (ulama) mendapatkan sertifikasi dari pemerintah mengundang reaksi keras dari berbagai lapisan masyarakat, dari masyarakat bawah, mahasiswa, partai politik sampai anggota dewan-pun pada angkat bicara.
pro dan kontra bergulir antara yang menilai baik dan yang menilai kurang baik menjadi berita yang terhangat untuk dibicarakan..
perlukah ulama disertifikasi ?
jika ia, maka siapa yang berhak men-sertifikasi ?
mari kita diskusikan…. apa itu ulama? tahukah kamu sahabatku?
Ulama (Arab:العلماء al-`Ulamā` ) adalah pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti, kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu), Para ulama semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Simak risalah ini selanjutnya.
Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya:
مَفاَتِيْحُ لِلِخَيْرِ وَمَغاَلِيْقُ لِلشَّرِّ
“Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.”
Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)
Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32)
Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68)
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140)
sahabatku yang dirahmati Allah, gaung sertifikasi ulama yang dianggap langkah tersebut bisa dijadikan antisipasi gerakan radikal serta sudah dijalankan di beberapa negara, seperti Singapura dan Arab Saudi sangat keras menuai tanggapan dari berbagai pihak..
“Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi,” kata Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris dalam diskusi Sindoradio, Polemik, bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai” di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9/2012).
itulah asal mula ada waacana sertifikasi ulama…
apakah masyarakat diam saja denagan wacana tersebut, tentu tidak kawan..
Ketua Komisi Fatwa MUI, KH. Ma’ruf Amin menegaskan predikat ulama didapat dari pengakuan masyarakat, bukan pemerintah. Seseorang disebut ulama jika diakui masyarakat.
“Untuk apa sertifikasi seperti ini? Sertifikat ulama ini dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Jadi, tidak perlu sertifikasi seperti itu,
Kyai Ma’ruf, sapaan akrabnya, justru mempertanyakan efektifitas institusi pemerintah yang menanggulangi kasus terorisme.
“MUI menganggap sudah ada institusi pemerintah yang menanggulanginya. Tapi saya tidak tahu institusi itu sekarang efektif atau tidak
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menilai sertifikasi ulama sebagai bentuk pelanggaran HAM.
Hal ini disampaikan Mahfud seusai menyampaikan orasi ilmiahnya dalam Dies Natalis 56 Tahun Universitas Hasanuddin, di Makassar, Senin (10/9/2012).
“Sertifikasi ustadz itu berbahaya, di dalam Islam siapa pun dapat menjadi ustadz, orang yang mengerti satu ayat saja diharuskan berdakwah, saya sangat tidak setuju, negara malah menekan rakyatnya, bukan melindunginya. Ini melanggar HAM dan harus kita lawan, ini lebih orde baru dari orde baru,” ujar Mahfud yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia ini.
Mahfud menambahkan, wacana sertifikasi yang akan dilakukan BNPT ini akan mengidentikkan ulama atau ustadz dengan teroris. Padahal, lanjut Mahfud, di Indonesia sangat banyak ustadz yang nasionalis. Apalagi jika sertifikasi ustadz tersebut dilakukan oleh polisi.
menurut Sosilog Agama, Dadang Kahmad usulan tersebut memiliki sisi positif dan negatif.
“Sisi positifnya, bisa menyeleksi mana yang ulama beneran mana yang tidak. Sisi negatifnya, akan membuka peluang sertifikasi sebagai kontrol dari institusi tertentu kepada pemuka agama. Ulama akan diberi sertifikat oleh institusi tertentu. Lantas, bagaimana dengan ulama yang tidak memiliki sertifikat,” tanya dia, dalam perbincangannya dengan Republika, Senin, (10/9).
Ia menilai, ulama bukanlah profesi seperti guru. Namun, ulama merupakan sebuah panggilan hati. “Ulama itu muncul dari bawah,”
Ketua Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab. Menurut Habib Rizieq, usulan Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, itu bukan hanya menghina ulama bahkan termasuk penistaan terhadap Islam.
“Usulan Sosiolog Unas dan rencana BNPT tentangg perlunya sertifikasi ulama dengan motivasi deradikalisasi Agama Islam adalah penghinaan terhadap ulama, bahkan penistaan terhadap agama Islam,” katanya melalui pesan singkat kepada Suara Islam Online, Sabtu (8/9/2012) Menurut kandidat doktor syariah Universitas Malaya, Malaysia itu, saat ini BNPT sudah kebablasan. Mereka dinilai tidak paham kesucian agama Islam dan tidak tahu kemuliaan ulamanya.
“BNPT ingin memposisikan Islam dan ulamanya sebagai musuh, sehingga mereka ingin punya justifikasi dan legitimasi untuk “mengerjai” Islam dan ulamanya,” lanjutnya
Karena itu Habib Rizieq menyerukan agar segenap komponen ulama menolak keras usulan gila dan edan BNPT itu. Jika BNPT menjadikan Islam dan ulama sebagai musuh, dia juga menyerukan umat Islam untuk melakukan perlawanan.
“Saya serukan segenap ulama untuk menolak keras usulan gila dan rencana edan tersebut. Dan saya serukan segenap umat Islam untuk siapkan diri melawan BNPT dan Densus 88-nya jika mereka menjadikan Islam dan Ulamanya sebagai musuh. Hidup Mulia atau Mati Syahid. Allahu Akbar!,” seru Habib Rizieq.
Usul BNPT ini senada dengan lontaran Sosiolog Universitas Nasional, Nia Elvina, yang agar Kementerian Agama melakukan sertifikasi ulama sehingga mempunyai kredibilitas yang tinggi.
“Jika dosen dan guru pun bisa disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama,
Menurut Nia, ide sertifikasi ulama ini dianggap penting karena melihat kecenderungan Islam di Indonesia saat ini mengarah pada radikalisme. Tidak jarang ulama yang ada di Indonesia memiliki kredibilitas yang rendah.
Nia berpendapat bahwa tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini tidak sedikit ulama-ulama yang ada mempunyai kredibilitas yang rendah. Sebagai contoh ada kasus mantan narapidana, preman atau artis bisa jadi ulama.
“Sehingga dakwah yang disampaikanpun kualitasnya sangat rendah. Mereka kurang bisa menginterpretasi dengan baik ajaran-ajaran Islam. Saya pikir untuk mengatasi hal ini barangkali perlu diadakan semacam sertifikasi ulama itu,, di Jakarta, Senin (3/9/2012) seperti dirilis Antaranews.
Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FU7UI), KH Athian Ali M Da’i menilai ide tersebut semakin memperkeruh hubungan antara kelompok ulama dengan pemerintah.
“Ini sudah semakin menohon dan menyudutkan para ulama. Dengan ide itu seakan-akan para ulama menjadi dalang dari adanya aksi terorisme di Indonesia,” kata Athian Ali yang dihubungi Republika, pada Senin (10/9).
Athian menambahkan selama ini para ulama sudah bersabar sekian lama karena kerap dituding terlibat dalam kasus-kasus terorisme di Indonesia. Kemudian muncul ide harus diadakannya sertifikasi bagi para ulama dari BNPT, menurutnya sudah sangat menghina dan melecehkan para ulama.
Ide untuk sertifikasi para ulama, ia melanjutkan, merupakan sebuah fitnah dari pemerintah melalui BNPT yang dianggap memberikan ajaran-ajaran kekerasan hingga menimbulkan terorisme. Adanya ide ini pun akan semakin memojokkan Islam dalam pemberantasan terorisme.
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) di DPR, Indra, mengecam konsep sertifikasi ulama yang disusulkan BNPT. Dia menjelaskan, sebutan atau gelar kyai, ustadz, buya, tuan guru dan lainnya bagi ulama adalah gelar yang disematkan masyarakat sebagai bentuk pengakuan serta penghormatan kepada seseorang yang dinilai dan diakui keilmuan agamanya.
“Gelar tersebut datang dengan sendirinya seiring kealiman seseorang berdasarkan pengakuan masyarakat dan bukan gelar yang diberikan pemerintah
usulan sertifikasi ulama ini merupakan upaya “mengkriminalisasi-kan” pemikiran-pemikiran seseorang yang bersebrangan dengan kepentingan status quo, terutama pemikiran yang mengusung Islam.
Lain halnya apabila pemerintah ingin “menciptakan ulama-ulama stempel” yang ceramah dan fatwa-fatwa hanya untuk mendukung atau membenarkan secara membabi-buta kebijakan pemerintah.
“Jadi tak tepat apabila pemerintah menentukan seseorang pantas atau tidak, berhak atau tidak berhak menyandang gelar ulama melalui sertifikasi,” katanya.
Dia menilai, ide sertifikasi yang dilontarkan salah seorang pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), merupakan lontaran yang “ngaco” dan tidak berdasar.
“Ini semacam kekalutan BNPT ketika menghadapi fenomena teror. Dan logika sertifikasi secara eksplisit sebenarnya upaya menyudutkan Islam, seolah-olah siar Islam yang disampaikan para ulama mrpkn sumber munculnya teorisme
sahabatku semua yang dirahmati Allah.
coba kita tanya diri kita sendiri, apakah sertifikasi ulama itu perlu?
lalu siapa yang berhak men sertifikasinya?
apa POLISI, BNPT to Pemerintah, kok terkesan ini memaksa sesuatu hal yang dipaksa-paksakan. emang apakah islam itu identik dengan terorisme ? apakah ajaran islam itu selalu radikalisme ?apakah ulama itu biang dari munculnya teroris?
jelas jawabnya TIDAK>>
penyebab radikalisme itu bukan hanya karena agama apalagi islam, islam agama yang rahmatal lilalamin. “Ada banyak faktor dan itu sangat kompleks. Kondisi-kondisi sosial dan lingkungan dapat membentuk radikalisme. Contohnya, pendidikan rendah, ekonomi dan lainnya,
lah yang perlu kita kritisi justru kinerja BNPT yang belum menemukan resep yang efektif untuk mencegah terorisme, sehingga terkadang langkah dan statemennya patut diduga ngawur yang berpotensi melahikan resistensi dari masyarakat luas yang sudah mulai sadar dengan “drama terorisme” yang terjadi selama ini.
“Jika dosen dan guru pun bisa disertifikasi, apakah tidak mungkin juga dilakukan bagi ulama,” kata Nia Elvina, lho bedain donk ulama dengan guru maupun dosen,
arti umum Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.
Guru di Indonesia
Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang syah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.
Kedudukan Ulama
Pembahasan ulama, Gelar tersebut datang dengan sendirinya seiring kealiman seseorang berdasarkan pengakuan masyarakat kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan binasa.
Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya Allah dengan nama-nama-Nya yang Maha Suci telah mengkhususkan beberapa orang dari makhluk yang dicintai-Nya lalu menunjuki mereka kepada keimanan. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memilih dari seluruh orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang dicintai-Nya dan setelah itu memberikan keutamaan atas mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mengajarkan kepada mereka ilmu agama dan tafsir Al-Qur’an yang jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala utamakan mereka di atas seluruh orang-orang yang beriman pada setiap jaman dan tempat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat mereka dengan ilmu, menghiasi mereka dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang halal dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudharat dari yang mendatangkan manfaat, yang baik dan yang jelek. Keutamaan mereka besar, kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para nabi dan pemimpin para wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat dengan sayap-sayapnya menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at setelah para Nabi, majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka menegur orang-orang yang lalai.
Mereka lebih utama dari ahli ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang zuhud. Hidup mereka merupakan harta ghanimah bagi umat dan mati mereka merupakan musibah. Mereka mengingatkan orang-orang yang lalai, mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas bahwa mereka akan melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan membawa menuju kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang yang bermaksiat terdorong untuk menjadi orang yang taat. Dan dengan nasihat mereka, para pelaku dosa bertaubat.
Seluruh makhluk butuh kepada ilmu mereka. Orang yang menyelisihi ucapan mereka adalah penentang, ketaatan kepada mereka atas seluruh makhluk adalah wajib dan bermaksiat kepada mereka adalah haram. Barangsiapa yang mentaati mereka akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang memaksiati mereka akan sesat. Dalam perkara-perkara yang rancu, ucapan para ulama merupakan landasan mereka berbuat. Dan kepada pendapat mereka akan dikembalikan segala bentuk perkara yang menimpa pemimpin-pemimpin kaum muslimin terhadap sebuah hukum yang tidak mereka ketahui. Maka dengan ucapan ulama pula mereka berbuat dan kepada pendapat ulama mereka kembali.
Segala perkara yang menimpa para hakim umat Islam maka dengan hukum para ulama-lah mereka berhukum, dan kepada ulama-lah merekalah kembali. Para ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, lambang2 sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan. Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka (bisa) melihat jalan dalam kegelapan.”
Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya meninggalkan mereka.
sahabatku yang dirahmati Allah..
pertanyaan yang mengusikku adalah pemerintah ingin “menciptakan ulama-ulama stempel” yang ceramah dan fatwa-fatwa hanya untuk mendukung atau membenarkan secara membabi-buta kebijakan pemerintah.??
kenapa gak mencari solusi yang terbaik, dari pada statement yang memancing semua lapisan angkat bicara?
padahal solusi untuk menekan radikalisme dan terorisme melalui penegakan hukum, peningkatan pengetahuan, pendidikan, kesejahteraan, lah mana mungkin semua ditu bisa tercapai penegakan hukum di indonesia yang pilih kasih, uang bicara anda senang, pendidikan di indonesia yang kurang tertata rapi, ditambah banyaknya rakyat yang hidup dibawah garis kesejahteraan. mana mungkin semua itu dapat tereleasisakan dengan cepat, butuh waktu lama dan tentunya dukungan dari semua lapisan. malah mengeluarkan wacana sertifkikasi ulama, wacana yang terkesan diada-adakan, ya gak kawan….
menurut KH Abdul Mujib Syadzili , jika ada santri atau alumni pesantren diketahui menjadi teroris, jangan kemudian menyalahkan pesantren dan kiainya. “Kalau pesantren ada tikusnya, silahkan saja tikusnya yang dibakar. Jangan lumbungnya yang dibakar dan disalahkan
Kalaupun ada pesantren yang diketahui nyata-nyata sarang teroris, itu hanya beberapa pesantren saja. “Jangan kemudian menuduh semua pesantren jadi sarang teroris..
seharusnya lembaga seperti BNPT, BIN, Densus 88, maupun POLRI yang harus intropeksi institusi itu sekarang efektif atau tidak ?
jika tidak, bagaimana caranya memaksimalkanya…. bukankah itu lebih bagus, jangan seperti zaman ‘orde otoriter’,” islam itu tidak identik dengan teroris, maka jangan sekali-kali memukul rata ajaran islam itu ajaran untuk para teroris, berarti yang berfikir demikian harus belajar yang lebih mendalam lagi tentang islam, ya gak kawan..? gak pernah tinggal di pesantren, makanya bilang pesantren identik dengan radikalisme.. sangat disayangkan.
tak ada agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi agama Islam. Dinilai tidak benar jika melakukan kekerasan atas nama agama Islam.
Ini semacam kekalutan BNPT ketika menghadapi fenomena teror dan logika sertifikasi secara eksplisit sebenarnya upaya menyudutkan Islam, seolah-olah siar Islam yg disampaikan para ulama merupakan sumber munculnya teorisme
padahal;
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang lain seratus tahun.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 27)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمآءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku mengira bahwa terlupakannya ilmu karena dosa, kesalahan yang dilakukan. Dan orang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal. 28)
Abdurrazaq mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang yang lebih bagus shalatnya dari Ibnu Juraij. Dan ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal 28)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa mereka (para ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Miftah Dar As-Sa’adah 1/225)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ
“Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu)
Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29)
jadi jika ditanya lagi siapa yang berhak sertifikasi para ulama?
jawabnya jelas Allah dan Rosulnya melalui quran dan hadist…
lalu instansi-instansi pemerintah yang mau mensertifikasi ulama gimana? halah, sertifikasi dulu istansi-instansi itu bener to tidak ?
lah, sampai sekarang JALANYA ja masih amburadul, kok mau sertifikasi ulama? apa gak malu…. ya gak kawan…??
semoga bermanfaat.
Sep 11, 2012 @ 10:07:01
Kayak guru aja ada sertifikasinya, 😆
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 10:10:38
makanya kan terkesan lucu mas,,,
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 10:33:22
Cuma kenyataannya ada ulama yg tukang kawin, jualan ayat demi partai, pengikutnya nggak puasa dengan alasan yang mengada-ada. Dan nampaknya sebagian masyarakat kita tampaknya masih cukup terbelakang untuk mengikuti ulama model demikian.
Ada lagi ulama yang mengaku bukan teroris, tapi hampir semua teroris ternyata anak didiknya dia. Bukannya sponsor teroris lebih berbahaya drpd teroris itu sendiri?
Kemudian ada ulama yang mengatakan suatu kelompok sesat, padahal ulama2 besar di dunia tidak sependapat. Terus terjadi pembunuhan, pembakaran dan pengusiran pada golongan tertentu.
Mungkin Anda punya solusi lain untuk para ulama jadi2an seperti ini? Mereka banyak lho pengikutnya.
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 10:52:22
sebaiknya anda klarifikasi dulu perbedaaan antara ulama dan kyai… “kalau ulama itu pasti kyai, tapi kalo kyai blum tentu ulama”….
yang berhak mendapatkan gelar ulama itu orang yang keshalehan ilmunya luar biasa… yang lebih memahami islam secara mendalam…
bukan ulama yang diberi gelar karena manusia… ustad-ustad itu banyak.. tapi banyak pula ustad-ustadan.. yang pemahaman agamanya kurang, namun pandai sekali berbicara dan menarik simpati masyarakat.
menurut gusmus dalam twiternya menuturkan,
Banyak yang mengacaukan antara ‘ULAMA’ dalam bahasa Arab (jama’nya ÃLIM = orang berilmu/ berpengetahuan/mengerti/ cendekiawan) dengan .. 2/ ULAMA dalam bahasa Indonesia (bentuk mufrad, Lihat KBBI) yang bisa dan sering diartikan kiai, ajengan, atau anggota pengurus MUI. USTADZ bahasa Arab (yang berarti guru/ profesor) juga dikacaukan dengan ULAMA, KIAI, MUBALIG, dan ARTIS. ULAMA/KIAI (istilah Indonesia) menurut Arief Budiman, ada yg produk Masyarakat ada yang produk Pemerintah, dan ada yang produk Pers. ULAMA/KIAI produk Masyarakat ialah yang karena ilmu dan perilakunya, diakui oleh ~dan kemudian digelari begitu oleh~ masyarakat. ULAMA/KIAI produk Pemerintah di zaman ORBA banyak sekali. Tapi yang paling ‘manjur’ pastilah ULAMA/KIAI produk Pers. Gelandangan pun jika Pers, karena sesuatu hal, menyebut2nya sebagai ULAMA/KIAI, maka orang pun akan menganggapnya ULAMA/KIAI. Kita bisa tambahkan: ULAMA/KIAI produk politisi dan produk sendiri. Yg ini modalnya cukup kostum ULAMA/KIAI dan sedikit keahlian akting. Politisi atau perorangan yang akan memproduk ULAMA/KIAI, akan berhasil meyakinkan bila bekerjasama dengan Pers. Mengingat Pers terbukti sebagai Pembentuk opini yang luar biasa. Waba’du; jadi sertifikasi itu upaya untuk memproduk juga ULAMA/KIAI? Bukti ORBA masih anu..?
makanya, mas jangan berfikiran yag terlalu sempit mengenai ulama…jangan-jangan ulama yang ada maksud bukan ulama dalam arti sebenarnya.. ulama jadi-jadian, to seseorang yg pandai berakting,,,
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 18:13:22
Kalau istilah yg terlalu detil aku sih nggak paham. Tapi seperti yang Anda katakan, bahwa siapapun, baik pemerintah, pers maupun masyarakat bisa memberikan gelar ini, padahal baik pemerintah, pers maupun masyarakat belum tentu benar. Makanya ada yg usul untuk bikin sertifikasi ulama, untuk meminimalkan ulama yang jadi2an. Kalau Anda sendiri punya solusi lain selain sertifikasi ulama?
Kalau aku secara pribadi sih yang penting penegakan hukum. Kalau salah dihukum, tidak peduli status sosialnya sebagai seseorang yang dianggap ulama, atau seberapa banyak/militan pengikutnya. Masalahnya, ketika berhadapan dgn orang yg banyak pengikutnya, polisi terlihat jelas sangat melempem. Sehingga ketika terjadi benturan antar kelompok, kelompok yg lebih kecil, yg sudah jadi korban, malah dikorbankan lebih lanjut, walaupun jelas yg melanggar hukum adalah kelompok lainnya. Mungkin ada yg mikir, dgn sertifikasi ini, polisi jadi meningkat ketegasannya ketika menghadapi masa dari “ulama” yg tidak bersertifikat.
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 18:47:05
iman itu dapat dilihat dari sikap dan tingkah laku, begitu juga dengan orang yang berilmu, dia akan cenderung lebih rendah hati daripada menyombongkan diri, filosofi padi semakin tua semakin menunduk.. seorang ulama tak akan pernah mengakui bahwa dirinya ulama, nah inilah bentuk kerendahan hatinya, tawadu’ akan ilmunya,, jikalau ada seseorang yang ngaku-ngaku ulama.. itulah yang dipertanyakan, apalagi ulama yang dikomersilkan untuk mendapatkan keuntungan -keuntungan, dewasa ini memang banyak yg seperti itu.. ustad-ustadan, kiyahi-kiyahian… seperti acara pemilihan da’i yg sebetulnya pemahaman akan islam belum begitu mendalam tapi mencoba mensiarkannya…belum paham betul tafsir alquran maupun hadist sudah berani menyimpulkan salah, bid’ah, sesat, inilah yang harus dikoreksi…
upaya sertifikasi ulama adalah upaya spekulasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin memojokkan islam dengan dalih, seperti yang telah kita bahas diatas islam agama teroris, ulama adalah guru para teroris.. dan spekulasi lainya yang untuk kepentingan orang-orang tertentu, jelas jika dalih seperti itu ini tidak benar adanya,bukan islamnya yang salah, tapi orang yang belajar tentang pemahaman islam itu yang harus dirubah cara pandangnya…ya gak mas,
sertifikasi ulama tidak perlu lah, karena siapa yang bisa sertifikasi ulama, ? orang yang bisa sertifikasi ulama harusnya tingkatannya lebih alim melibihi ulama yg akan disertifikasi, apakah ada yang kayak demikian?
bukankah ini sebuah wacana yang terkesan diada-adakan, kenapa ada wacana sertifikasi ulama?
sebenarnya ini gampang jawabnya, lihat ja hukum yang berlaku di indonesia, yang amburadul, hukum yang bisa dibeli.. korupsi dimana-mana, kemiskiknan meraja lela, ketidakadilan pada orang miskin, polisi yang sudah dinilai negatif dimasyarakt… apa-apa harus duit.. serta maslah -masalah sosial lainya.. yang selama ini kita dengar,
maka tak heran, jika ada sekelompok orang yang berani menantang polisi, menteror dengan dalih bosan melihat kebobrokan negara demi memperoleh keadilan, uapaya seperti itu sangat tidak dibenarkan dalam islam apalagi jika sampai ada jatuhnya korban…
andai hukum kita berjalan adil, pemerintah kita bijaksana, rakyat miskin diperhatikan, anggota dewan bekerja dengan baik dan jujur, bisa dipastikan indonesia aman dan makmur, nah sekarang…coba lihat, coba anda dengarkan kata hati anda, apa anda enggak bosan melihat keadaan indonesia yg seperti sekarang..
islam itu cinta damai, tapi jika islam diganggu maka siap dibela sampai mati, tentunya sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku… bukan aksi radikalisme para teroris saat ini..
jika terus mau sertifikasi ulama, maka sertifikasi pula presiden, anggota dewan, polri, mahkamah agung, hakim, jaksa, polisi, dan instasi-instasi terkait semuanya.. yang baik dan jujur, berani gak? jika gak berani, gak perlu lah sertifikasi ulama… ya gak…??
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 19:03:26
Memang sudah merupakan suatu fakta bahwa kita tinggal di negara yang bobrok. Tentunya kita sama-sama menginginkan keadaan jadi lebih baik kan? Bagaimana solusi Anda untuk mengatasi ulama jadi-jadian yang tindakannya semakin menjadi-jadi di negara kita?
Kalau analogi sertifikasi presiden, anggota dewan dll saya kurang setuju. Karena untuk status yang mereka miliki, mereka sudah melalui proses resmi. Jadi otomatis mereka bersertifikat, soal tindakan yang tidak sesuai dengan “sertifikatnya”, sudah ada jalur untuk “menghukumnya”. Tapi sehubungan ulama, proses apa yang mereka lalui untuk dapat disebut ulama? Apa sanksinya jika mereka ternyata bertindak sebagai ulama jadi-jadian? “Ulama-ulama” yang saya contohkan diatas, sama sekali tidak mendapat sanksi yang seharusnya mereka terima. Jika Anda mengikuti berita-berita terkini, pasti Anda bisa menebak dengan benar, siapa saja “ulama-ulama” itu.
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 19:17:38
menjadi-jadi seperti gimana?
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 20:38:10
Lihat saja contoh-contoh ulama yang aku sebut.
SukaSuka
Sep 12, 2012 @ 08:13:05
Sya gak suka menjudge ulama tertentu, padahal bisa jadi kita tidak lebih baik dari beliau. apa anda mengenal lebih mendalam ulama tersebut ? Bagaimana kesehariaanya,, dengn keluarganya, santrinya, kerabatnya…anda blum mengenalnya lebih mendalam maka saya sarankan jngn menyebut ulama yg kurang baik.. Pasti anda sudah termakan berita-berita yg dutayngkn di tv tentng LSM tertentu yg terkesan arogan membawa2 islam…sungguh sangt disyangkn banyak orang melihat yg hanya ditayangkan di tv yg buruk2 sja.. Padahal kebaikannya bisa jd lebih banyak… Itulah mengapa tv selalu menyajikan berita yg bisa menjual, rating tinggi,,,padahl jika melakukan yg baik2 tidak diberitakan… Asal engkau tahu sahabatku,, aksi seprti itu apa langsung mreka lakukan tanpa babibu dulu? Tentu tidak…upaya upaya negosiasi lewat lisan, tulisan, sudah dilayangkan terlebih dahulu, bahkan merekomndasikan kepaart terkait, baik polisi maupun polri untuk menyelesaikan secara hukum…tapi apa.. Polisi hanya diam, tak berbuat apa2… Maka masyarkat yg sudah mulai jengah dg kemaksiatan…dg moral yg buruk dibiarkan…maka terpakasa turun…untuk mencari keadilan… Apa ini salah.. Ya tidak donk… Keadilan harus ditegakkan oleh siapapun jika yg diamanati mengemban keadilan tidak bisa di andalkan… Ingat tragedi trisakti jika masyarakat indonesia diem aja nurut kebjakan pemerintah… Terus gmana nasib indonesia.. Maka dari itu semua elemen maahasiswa dan masyarakat turun kejalan mencari keadilan menuntu reformasi… Implikasinya dengan sekarang.. Orang sudh bosan melihat penegak hukum yg tidak memihak rakyat kecil…hukum hanya untuk orang-orang berduit. Punya duit aman hukum, korupsi yg tak kunjung habis-habisnya… Siapa coba yg tak jengah melihat semua itu,, lah terus ada sekolompok LSM yg menyeruakan keadilan malah dinilai negatif,, dibilang arogan dsbnya… Padahal ada tahapan-tahapan tertentu yg harus dilewati seblum aksi turun dijalan… Inilah yg masyarkat tidak tahu, yg diberiktakan di tv pasti yg pas anarkis…karena apa, karena berita tersebut menjual, ratingnya tinggi shingga banyak menimpulkan polemik dimasyarakt.. Inilah yg dinamkan konspirasi media. Kenapa harus takut polisi…wong polisinya ja tidak menjalankan sebenar-benarnya polisi… Jika polisi menjalankan sebenr2nya polisi.. Pasti tidak ada yg menyeruakan keadilan ya gak kwan..??keadilan tu harga mati, keadilan harus ditegakkan.. Moral bangsa harus dijaga… Siapa yg bisa menjaga itu semua kalau tidak diri kita sendiri…mau ngandalin pemerintah yang carut marut perang antar politik dan korupsi..halah… Seperti mengarapkan bulan jatuh kepangkuan… Sya rasa akan banyak muncul LSM maupun organisaasi yg akan menyuarakan keadilan…jika keadilan di indonesia blum adil, yg jadi pertanyaan adalah kita sendiri… Kenaapa kita diem ja? Malah jika ada yg menyeruakan keadilan kita menggap itu arogan… Anarkis ?…ngapain sertifikasi-sertifikasi ulama,,, diri kita ja blum bener kok mau sertifikasi orang alim… Lihat tu moral remaja kita yg hancur,korupsi yg tak kunjung selesai, politik yg saling serang, kemiskinan yg meraja lela, ketidak adilan yg merata terus tanggung jawab kita gimana? Coba jawab..?
SukaSuka
Sep 12, 2012 @ 15:54:09
Mungkin saya tidak lebih baik drpd “ulama-ulama” itu. Tapi faktanya saya tidak berzinah, tidak menganjurkan membunuh orang, tidak menyuruh mengusir orang, hal-hal yang faktanya dilakukan “ulama-ulama” itu. Walaupun saya tahu itu lewat media, apa dalam hal-hal ini media berbohong? Mereka mungkin punya kebaikan, tapi ingat pepatah, gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. Apa yang mereka lakukan, bukan cuma nila setitik, padahal kebaikan mereka juga tidak sebanding dengan susu sebelanga. “Ulama-ulama” ini tidak memperbaiki keadaan, justru salah satu sumber masalah di negeri kita.
Aku juga mengejar keadilan, dengan cara menjalankan hidup yang adil, tapi setiap tindakan anarkis, jelas TIDAK ADIL. Perubahan itu dimulai dari diri sendiri, tidak dengan mengatur orang lain, sesuatu yang malah merupakan ketidakadilan baru.
SukaSuka
Sep 12, 2012 @ 17:06:07
sahabatku yang diberi kemurahan rahmat dan kejujuran, saya mengerti apa yg hendak engkau sampaikan,, tapi cukuplah-cukuplah… jika terlalu dalam kita mendiskusikan ini, terlalu dalam juga kita masuk dalam “berprasangka buruk kepada orang” biarlah.. biarkanlah, orang berkendak sehebat apapun keinginannnya, tapi ingat wahai saudaraku ada hukum Allah yang mengatur deisetiap yg kita lakukan, dan kita akan bertanggub jawab atas apa yg kita perbuat selama ini, doakan saja yang terbaik, yang salah semoga kembali ke jalan yg lurus, yg lupa semoga segera diingatkan. toh kita hanya bisa mengingatkan. hidup itu indah jika kita mampu mengindahkan hidup orang lain. marilah kita sama-sama memperbaiki diri kita sendiri dulu, nilai diri kita, hati kita, akhlak kita, dan apa yang kita lakukan, mari koreksi.. jangan-jangan selama ini kita sendiri yg kurang baik, jngn menilai orang lain dulu, sebelum menilai diri sendiri, dan jangan membanggakan diri sendiri jika kita sudah terkesan baik, karena sesunguuhnya orang baik tidak pernah mengatakan bahwa dirinya baik..
diskusi yang menarik..
salam pershabatan.
semoga silaturahmi kita tidak pernah putus..
SukaSuka
Sep 13, 2012 @ 06:33:49
Saya sangat setuju, tidak ada seorang manusiapun yang bisa mengaku dirinya baik 100%. Karena itu juga, tidak ada seorangpun (termasuk ulama) yang bisa mengatakan orang lain sesat, kemudian menghalalkan darahnya. Alangkah indahnya jika Pemerintah mengatur rakyatnya, tidak cuma bisa menghimbau karena memang itu tugasnya. Jika ulama menghimbau umatnya, bukan mengambil tugas pemerintah untuk ikut mengatur rakyat, karena itu bukan tugasnya. Dan kita, sebagai rakyat menaati aturan pemerintah, sebagai umat menuruti imbauan ulama. Memang sulit untuk mengikuti aturan dari pemerintahan yang bobrok, tapi anggap saja itu ujian. Kalau pemerintahnya sudah baik, terlalu gampang menjadi orang taat.
Sebagai contoh, saya tidak suka dengan Pak Harto, gaya dia yang memaksa-maksa untuk memilih partainya, sehingga saya harus sembunyi-sembunyi untuk tidak memilih. Tapi apakah menurunkannya secara paksa memperbaiki keadaan? Tidak bukan? Banyaknya korban yang berjatuhan ternyata tidak membawa manfaat, malah KKN semakin menjadi-jadi sekarang ini.
Anggap saja kita seperti Keadaan Nabi Nuh, hanya bisa berdakwah. Soal menghukum orang “kafir” biarlah itu menjadi tugas Allah, karena dialah yang berhak menentukan siapa yang kafir, siapa yang bukan. Terimakasih atas diskusinya.
SukaSuka
Sep 13, 2012 @ 08:37:46
untuk itu wahai sahabatku, mari kita koreksi diri, perbaiki hati dan tata nurani sebagai bekal kemajuan negeri ini.. karena segala sesuatu yang besar itu dimuali dari yang kecil, semoga Allah meridhoi, semoga iman selalu didasar hati… terima kasih..
SukaSuka
Sep 11, 2012 @ 12:42:42
yang mau sertifikasi ulama
malah bisa jadi belum bisa ngaji
wkwkwkkkk
http://yudhadepp.blogspot.com/2012/09/sim-kita-bakal-kena-razia-kecuali-kita.html?m=1
SukaSuka