bismillahirahmanirahim,

sahabatku semua yang dirahmati Allah, duch macetnya pengen jalan ke puncak saja menikmati keindahan harus berjam-jam dalam kendaraaan karena macetnya…

apa yang terjadi jika kemacetan dan kesibukan terus-terusan terjadi melingkupi kehidupan kita? gampang marah, gampang emosi, gampang putus asakah?

ya to tidak kawan?

kawan, Dalam aksara Cina, kata “sibuk” berarti “kematian hati” atau ” hati yang mati “. Kesibukan dapat membuat orang “mati rasa” karena dapat merampas hal yang berharga dalam hidup kita, yakni kepekaan dan kepedulian kita terhadap orang lain.  Orang yang terlalu sibuk bisa kehilangan kepekaan terhadap Tuhan dan sesama. Lebih parah lagi, orang yang sibuk lama kelamaan bisa menjadi egois — tidak lagi peduli pada manusia di luar dirinya, bahkan terhadap keluarganya sendiri.
Jangan terjebak pada kerutinan dan kesibukan atau hoby yang berlebihan. Berhati-hatilah saat memasuki rutinitas kesibukan.

sebuah kisah untuk orang yang selalu dalam kesibukan hidupnya….

Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.

Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ”selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.

Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.

Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.

Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.

Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.

Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.

Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja.

Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.

Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua.
— Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

— Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat.

— Sering kali orang sibuk ‘di luaran’, asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang-orang di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu ‘nanti’ buat mereka jadi abaikan saja dulu.

— Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.

MEREKA LUPA BAHWA ALLAH YANG MENENTUKAN SEMUANYA. HIDUP, MATI, RIZQI, JODOH HANYA ALLAH YANG MENENTUKAN.

— Pelajaran yang sangat menyedihkan.

sahabatku semua yang dirahmati Allah, Banyak orang terjebak dalam kesibukan yang menggunung : pekerjaan kantor yang menumpuk dan berbagai urusan ini dan itu yang sangat menyita waktu..

Hampir setiap hari seakan di kejar waktu, akibatnya ia kehabisan waktu untuk diri sendiri, keluarga , apalagi untuk Sang Pemberi Waktu..

Sebagai dampak dari semua itu, terjadi lah ketimpangan dalam keluarga , istri menjadi kesepian sedangkan anak2 berceceran entah kemana…

Suatu Kesibukan cenderung membuat orang menjadi ‘mati rasa’ , kesibukan akan mencuri dan merampas hal yang berharga dalam hidup kita, y a i t u KEPEKAAN…

Orang yang sibuk akan kehilangan kepekaan terhadap Tuhan dan sesama, yang lebih parah lagi, orang yang selalu sibuk lama kelamaan akan menjadi EGOIS, tidak peduli lagi kepada manusia diluar dirinya sendiri…

Setiap kita diberikan waktu yang sama , yaitu 1 hari = 24 jam ; biarlah kita mau mempergunakan itu dengan se baik2 nya .

Jangan mau dikendalikan oleh waktu, kitalah yang harus mengendalikannya…

BER HATI-HATILAH  SAAT KITA MULAI DISIBUKKAN OLEH KESIBUKAN- KESIBUKAN….

sahabatku semua yang dirahmati Allah,

Tafakuri kesibukan kita, jangan sampai bahu-membahu dalam dosa yang membuat orang lalai kepada Allah, pastikan kesibukan kita jadi amal dan da’wah mengajak kepada Allah, Semakin terpusat hati dan pikiran kita kepada Allah akan semakin tenang dan semakin dituntun menghadapi sesulit apapun hidup ini, Allah tahu persis keadaan kita, lebih tahu dari diri kita sendiri. Semua cobaan hidup sudah diukur dengan sempurna , maka bersabarlah. Sibuk MENSYUKURI nikmat yang ada akan lebih MEMBAHAGIAKAN dan mendatangkan KARUNIA lainnya, daripada sibuk dengan keinginan-keinginan.

Banyak keinginan dan sedikit bersyukur hanya menambah sengsara, sedikit keinginan dan banyak bersyukur semakin bertambah karuniaNya

Semakin bersih hati, semakin peka dan mampu membaca hikmah dari kejadian, sehingga semakin bijak dan tepat menyikapi persoalan. Sedangkan semakin kotor hati, semakin bebal dan sulit mendapatkan hikmah dari kejadian

Masalah paling besar bangsa ini bukanlah karena kurangnya tanah lapang, namun karena kurangnya hati-hati yang lapang.

 

bagaimana kawan? masihkah engkau sibuk dengan semua kesibukanmu?
jangan sampai menyesal. ingat menyesal itu selalu kemudian…

semoga bermafaat…