kawanku smua yang dirahmati Allah. kemaren malem, sebenrnya malam yang istimewa, karena kemaren ada acara maulidan oleh habieb munzir almusyawa di masjid baitul mustafa di kawasan MM2100 persis di depan PT Astra Honda Motor, sungguh maksud hati ingin datang namun kewajiban yang lebih utama mengurungku tuk datang, malam itu saya masih kuliah.. pulang kuliah jam 10 mlm, saya sudah sampai didaerah situ tapi rombongan jamaah dah pada pulang, sedihnya…
singkat cerita menjelang akhir pulang kerja saya ngobrol-ngobrol ringan dengan teman-teman saya, nah disinilah awal permasalahan terjadi… saya bertanya kepada salah satu teman saya, semalem ikut maulidan habieb munzir almusyawa di masjid baitul mustafa gak?
ngapain ikut, jawabnya.. acara seperti itu percuma, bikin badan capek saja, lho kok bisa… timpaku, dya bilang acara tersebut karena pengaruh sesosok habieb… Habieb itu apa? dya malah tanya seperti itu..kenapa bisa disebut habieb, toh putranya nabi yang lelekai sdah meninggal. dya malah mengkaitkan dengan fathimah. opininya fathimah itu kan istrinya ali jadi anaknya adalah keturunan ali tidak bisa dihubungkan dengan rasul, karena bin…bin…. gak nyampai pada rasul, dya tanya lagi bidah itu apa? … temenku mempersalahkan Habieb itu bagaimana? acara maulidan itu bidah, wong nabi gak pernah mencotohkan, sahabt jga tidak?…
dan banyak lagi… hal- hal yang tidak setuju dia lontarkan pada saya…
saya kadang senyum sendiri jika ada orang yang ngomong tapi dasarnya gak jelas. hanya menurut yang dia tahu, dia tidak mengkaji mana kebenaran yang paling hakiki, mana pendapat yang paling banyak diterina, dan mana saja yang diperbolehkan untuk diamalkan..
terjadilah diskusi ringan antara pro dan kontra… perdebatan lagi panas-panasnya… eh pimpinan saya datang, ini ada apa kok belum pada pulang? membicarakan masalah apa? kok serius amat? … karena kami merasa gak enak, jadi kami membicarakan maslah yang lain terus beranggsur meninggalkan lokasi, scan out pulang…
terlepas ketidak puasan jawaban yang aqu tuturkan, dan diskusi yang nanggung jga ada pertanyaan dari sejumlah pengunjung tentang hukum maulid nabi, maka disni kita akan membahasnya lagi….. KAWANKU YANG BAIK, PERHATIKAN KATA-KATA YANG BERCETAK TEBAL….
KENAPA KITA MENYAMBUT MAULID NABI??? INILAH HUJJAH-HUJJAHNYA. KENAPA KITA MENYAMBUT MAULID NABI??? INILAH HUJJAH-HUJJAHNYA…
oleh Al-Asyairah Al-Syafii
SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI
Siapakah orang yang pertama menyambut maulid Nabi???
Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata:
“Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang yang berani, pahlawan,` alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahawa dalam peringatan tersebut Sultan al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama’ dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama’ dalam bidang ilmu fiqh, ulama’ hadits, ulama’ dalam bidang ilmu kalam, ulama’ usul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari, sebelum hari pelaksanaan mawlid Nabi beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para hadirin yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama’ saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh Sultan al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua berpandang dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang dibuat untuk pertama kalinya itu.
Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A`yan menceritakan bahawa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Moroco menuju Syam dan seterusnya ke menuju Iraq, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 Hijrah, beliau mendapati Sultan al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh kerana itu, al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “al-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada Sultan al-Muzhaffar.
Para ulama’, semenjak zaman Sultan al-Muzhaffar dan zaman selepasnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahawa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-’Iraqi (W. 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani (W. 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W. 911 H), al-Hafizh aL-Sakhawi (W. 902 H), SyeIkh Ibn Hajar al-Haitami (W. 974 H), al-Imam al-Nawawi (W. 676 H), al-Imam al-`Izz ibn `Abd al-Salam (W. 660 H), mantan mufti Mesir iaitu Syeikh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W. 1354 H), Mantan Mufti Beirut Lubnan iaitu Syeikh Mushthafa Naja (W. 1351 H) dan terdapat banyak lagi para ulama’ besar yang lainnya. Bahkan al-Imam al-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid`ah-bid`ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 Hijrah. Ini bererti perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak bererti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Kerana segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam sendiri. Para ulama’ menyatakan bahawa perayaan Maulid Nabi adalah sebahagian daripada bid`ah hasanah (yang baik). artinya bahawa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru tetapi ia selari dengan al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil mengenai Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadith nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari`at Islam. Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه مسلم في صحيحه)”.
artinya:
“Barang siapa yang melakukan (merintis) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala daripada perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya selepasnya, tanpa dikurangkan pahala mereka sedikitpun”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya).
Faedah daripada Hadith tersebut:
Hadith ini memberikan kelonggaran kepada ulama’ ummat Nabi Muhammad sallallahu`alaihi wasallam untuk melakukan perkara-perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah, Athar (peninggalan) mahupun Ijma` ulama’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian bererti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, bererti ia telah mempersempit kelonggaran yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada zaman Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid`ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid`ah.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Muslim di dalam kitab Shahih mereka. Diriwayatkan bahawa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
“أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ”.
artinya:
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (orang-orang Yahudi)”.
Lalu Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat baginda untuk berpuasa.
Faedah daripada Hadith tersebut:
Pengajaran penting yang dapat diambil daripada hadith ini ialah bahawa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan bersyukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Sama ada melakukan perbuatan bersyukur kerana memperoleh nikmat atau kerana diselamatkan dari bahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan sebagainya. Bukankah kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?!
Adakah nikmat yang lebih agung daripada dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan kurniaan yang lebih agung daripada pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani.
4. Hadits riwayat al-Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya. Bahawa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Isnin, beliau menjawab:
“ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ”.
artinya:
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)
Faedah daripada Hadith tersebut:
Hadith ini menunjukkan bahawa Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam melakukan puasa pada hari Isnin kerana bersyukur kepada Allah, bahawa pada hari itu baginda dilahirkan. Ini adalah isyarat daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam, ertinya jika baginda berpuasa pada hari isnin kerana bersyukur kepada Allah atas kelahiran baginda sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tersebut untuk kita melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahiran baginda, bersedekah, atau melakukan perbuatan baik dan lainnya. Kemudian, oleh kerana puasa pada hari isnin diulangi setiap minggunya, maka bererti peringatan maulid juga diulangi setiap tahunnya. Dan kerana hari kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam masih diperselisihkan oleh para ulama’ mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka boleh sahaja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak menjadi masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh al-Hafizh al-Sakhawi seperti yang akan dinyatakan di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama’ Ahl al-Sunnah Wa al-Jama`ah:
1. Fatwa al-Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadith al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-`Asqalani. Beliau menyatakan seperti berikut:
“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”. وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ”.
artinya:
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukikanl daripada (ulama’) al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya (keburukan), jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid`ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang thabit (Sahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Suyuthi. Beliau mengatakan di dalam risalahnya “Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid”. Beliau menyatakan seperti berikut:
“عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ”.
artinya:
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, merupakan kumpulan orang-orang beserta bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadith-hadith tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid`ah hasanah (bid`ah yang baik) yang melakukannya akan memperolehi pahala. Kerana perkara seperti itu merupakan perbuatan mengagungkan tentang kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakkan (menzahirkan) akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya (rasulullah) yang mulia. Orang yang pertama kali melakukan peringatan maulid ini adalah pemerintah Irbil, Sultan al-Muzhaffar Abu Sa`id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami` al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh al-Sakhawi seperti disebutkan di dalam “al-Ajwibah al-Mardliyyah”, seperti berikut:
“لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ “بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ”.
artinya:
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorangpun daripada kaum al-Salaf al-Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar sentiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai-bagai sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih daripada kebiasaannya. Bahkan mereka berkumpul dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara menyeluruh. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian al-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling sahih adalah malam Isnin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh kerananya tidak mengapa melakukan kebaikan bila pun pada siang hari dan waktu malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada siang hari dan waktu malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama’ terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang suci bersih, maka kita akan mengetahui bahawa sebenarnya sikap “BENCI” yang timbul daripada sebahagian golongan yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasari kepada hawa nafsu semata-mata. Orang-orang seperti itu sama sekali tidak mempedulikan fatwa-fatwa para ulama’ yang saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat menghinakan ialah bahawa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan hari Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, kerana sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa segan sama sekali berkata:
“إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ”.
artinya:
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Golongan yang anti maulid seperti WAHHABI menganggap bahawa perbuatan bid`ah seperti menyambut Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik (kekufuran). Dengan demikian, menurut mereka, lebih besar dosanya daripada memakan daging babi yang hanya haram sahaja dan tidak mengandungi unsur syirik (kekufuran).
Jawab:
Na`uzu Billah… Sesungguhnya sangat kotor dan jahat perkataan orang seperti ini. Bagaimana ia berani dan tidak mempunyai rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, yang telah dipersetujui oleh para ulama’ dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ulama’-ulama’ ahli hadith dan lainnya, dengan perkataan buruk seperti itu?!
Orang seperti ini benar-benar tidak mengetahui kejahilan dirinya sendiri. Apakah dia merasakan dia telah mencapai darjat seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani, al-Hafizh al-Suyuthi atau al-Hafizh al-Sakhawi atau mereka merasa lebih `alim dari ulama’-ulama’ tersebut?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukumnya haram di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada unsur pengharamannya dari nas-nas syari’at agama?! Ini bererti, bahawa golongan seperti mereka yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam (tingkatan-tingkatan hukum). Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah (harus), mana yang haram dengan nas (dalil al-Qur’an) dan mana yang haram dengan istinbath (mengeluarkan hukum). Tentunya orang-orang ”BODOH” seperti ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan ikutan dalam mengamalkan agama ISLAM ini.
Pembacaan Kitab-kitab Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Al-Hafizh al-Sakhawi menyatakan seperti berikut:
“وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ– وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ”.
artinya:
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka sepatutnya yang dibaca itu hanya yang disebutkan oleh para ulama’ ahli hadith di dalam kitab-kitab mereka yang khusus menceritakan tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karangan al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandungi tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il al-Nubuwwah karangan al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudhah Nabi. Kerana kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus mengeluarkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justeru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarangnya untuk dibaca. Padahal sebenarnya tidak boleh ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud (tidak loba kepada dunia), mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kesesatan fahaman WAHHABI yang Anti Maulid:
Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik nescaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tidak melakukannya, adakah baginda melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak semestinya menjadi sesuatu yang haram. Tetapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Disebabkan itu Allah ta`ala berfirman:
“وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا”. (الحشر: 7)
artinya:
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.
(Surah al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah ta`ala di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian, maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini Berertinya bahawa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam tetapi bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Sesuatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka:
“Apakah untuk mengetahui bahawa sesuatu itu boleh (harus) atau sunnah, harus ada nas daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam secara langsung yang khusus menjelaskannya?”
Apakah untuk mengetahui boleh (harus) atau sunnahnya perkara maulid harus ada nas khusus daripada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam yang menyatakan tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah menyatakan atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nas-nas syari`at, baik ayat-ayat al-Qur’an mahupun hadith-hadith nabi, itu semua terbatas, ertinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah secara langsung, lalu dimanakah kedudukan ijtihad (hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid berpandukan al-Quran dan al-Hadith) dan apakah fungsi ayat-ayat al-Quran atau hadith-hadith yang memberikan pemahaman umum?! Misalnya firman Allah ta`ala:
“وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ”. (الحج: 77)
artinya:
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung”.
(Surah al-Hajj: 77)
Adakah setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam supaya ia dihukumkan bahawa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak sedemikian. Dalam masalah ini Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis panduan sahaja. Kerana itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebutkan dengan Jawami` al-Kalim ertinya bahawa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadith sahih, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
“مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ”. (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
artinya:
“Barangsiapa yang melakukan (merintis perkara baru) dalam Islam sesuatu perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam Sahih-nya).
Dan di dalam hadith sahih yang lainnya, Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam bersabda:
“مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ”. (رواه مسلم)
artinya:
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”.
(Diriwayatkan oleh al-Imam Muslim)
Dalam hadith ini Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam menegaskan bahawa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan daripada sebahagian syari`atnya”. Ertinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari`at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan sabda Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam di dalam hadith di atas: “Ma Laisa Minhu”. Kerana, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya, maka perkara tersebut pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai`an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini, maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka bererti hal ini bertentangan dengan hadith yang driwayatkan oleh al-Imam Muslim di atas sebelumnya. Iaitu hadith: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan….”.
Padahal hadith yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim ini mengandungi isyarat anjuran bagi kita untuk membuat sesuatu perkara yang baru, yang baik, dan yang selari dengan syari`at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara yang baru itu adalah sesat dan ia tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan melihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara`. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika ia menyalahi, maka tentu ia tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan seperti berikut:
“وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ”.
artinya:
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah (yang dicela) menurut tahqiq (penelitian) para ulama’ adalah bahawa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara` bererti ia termasuk bid`ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara` maka berarti termasuk bid’ah yang buruk (yang dicela)”.
Bolehkah dengan keagungan Islam dan kelonggaran kaedah-kaedahnya, jika dikatakan bahawa setiap perkara baharu itu adalah sesat?
2. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dimasuki oleh perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah kerana alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya, Apakah seseorang itu haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Kerana itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-`Asqalani telah menyatakan bahawa:
“أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً”.
artinya:
“Asal peringatan maulid adalah bid`ah yang belum pernah dinukil dari kaum al-Salaf al-Saleh pada tiga abad pertama, tetapi meskipun demikian peringatan maulid mengandungi kebaikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid serta berusaha melakukan hal-hal yang baik sahaja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid`ah hasanah”.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan membazirkan. Mengapa tidak digunakan sahaja untuk keperluan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah… Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama’ disebutnya sebagai membazir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan membazir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu sahaja beranggapan bahawa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan baginda?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah sallallahu`alaihi wasallam dan menjadikan kita banyak berselawat kepada baginda?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar seperti ini bagi orang yang beriman tidak boleh diukur dengan harta.
4. Golongan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata:
“Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Salahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah membangkitkan semangat ummat untuk berjihad. Bererti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh kerananya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Kenyataan seperti ini sangat pelik. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Salahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Kathir, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh al-Suyuthi dan lainnya telah bersepakat menyatakan bahawa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahawa sultan Salahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “fitnah yang jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahawa sultan Salahuddin membuat maulid untuk tujuan membangkitkan semangat umat untuk berjihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini bererti telah menyimpang, adalah perkataan yang sesat lagi menyesatkan.
Tujuan mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu menyambutnya. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang yang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Salahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Salahuddin sahaja? Dan apakah di dalam berjuang harus mengikuti cara dan strategi Sultan Salahuddin sahaja, dan jika tidak, ia bererti tidak dipanggil berjuang namanya?! Hal yang sangat menghairankan ialah kenapa bagi sebahagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighatsah (meminta pertolongan) boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul (memohon doa agar didatangkan kebaikan), tetapi kemudiannya terhadap orang lain, mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun daripada mereka yang mengisyaratkan bahawa tujuan maulid adalah untuk membangkitkan semangat ummat untuk berjihad di dalam perang di jalan Allah. Lalu dari manakah muncul pemikiran seperti ini?!
Tidak lain dan tidak bukan, pemikiran tersebut hanya muncul daripada hawa nafsu semata-mata. Benar, mereka selalu mencari-cari kesalahan sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahawa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya membangkitkan semangat untuk berjihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh al-Suyuthi, al-Hafizh al-Sakhawi dan para ulama’ lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan membangkitkan semangat untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut perihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rapuhnya dan tidak didasari perkataan mereka itu apabila berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidhal. Semoga Allah merahmati para ulama’ kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai ikutan bagi kita semua menuju jalan yang diredhai Allah. Amin Ya Rabb.
Jika ada mereka yang bertanyakan mengapa menyambut maulidul rasul. Maka jawapannya begini :
1. Dalil-dalil umum dari Al Quran yang dijadikan hujjah oleh Ulamak yang membenarkan :
فَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُواْ ٱلنُّورَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُ ۥۤۙ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٥٧)
Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Muhammad), dan memuliakannya, juga menolongnya, serta mengikut nur (cahaya) yang diturunkan kepadanya (Al-Quran), mereka itulah orang-orang yang berjaya.
(Surah al A’raf 157)
Di dalam ayat ini dengan tegas menyatakan bahawa orang yang memuliakan RasuluLlah sallaLlahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang beruntung. Merayakan maulid Nabi termasuk dalam rangka memuliakannya.
ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَيۡتُمُ ٱلزَّڪَوٰةَ وَءَامَنتُم بِرُسُلِى وَعَزَّرۡتُمُوهُمۡ وَأَقۡرَضۡتُمُ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنً۬ا لَّأُڪَفِّرَنَّ عَنكُمۡ سَيِّـَٔاتِكُمۡ وَلَأُدۡخِلَنَّڪُمۡ جَنَّـٰتٍ۬ تَجۡرِى مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُۚ
Bahawa Aku adalah berserta kamu (memerhati segala-galanya). Demi sesungguhnya jika kamu dirikan sembahyang, serta kamu tunaikan zakat dan kamu beriman dengan segala Rasul (utusanKu) dan kamu muliakan mereka dan kamu pinjamkan Allah (dengan sedekah dan berbuat baik pada jalanNya) secara pinjaman yang baik (bukan kerana riak dan mencari keuntungan dunia), sudah tentu Aku akan ampunkan dosa-dosa kamu, dan Aku akan masukkan kamu ke dalam Syurga yang mengalir di bawahnya beberapa sungai.
(Surah al Ma’idah ayat 12)
Erti “azzartumuhum” ialah “memuliakan mereka” (Tafsir Tabari, juz VI halaman 151) Orang yang memuliakan Nabi akan dimasukkan ke dalam syurga. Dan menyambut Maulid Nabi adalah dalam rangka memuliakan Nabi.
2. Saya ingin menyemaikan perasaan cinta kepada RasuluLlah sallaLlahu ‘alaihi wasallam. Di kala ramai orang yang kini semakin jauh dari perasaan cinta kepada baginda. Bukankah rasuluLlah bersabda begini :
“Belum sempurna iman seseorang dari kamu. kecuali aku lebih dikasihinya berbanding dengan keluarganya, dan hartanya dan manusia keseluruhannya.”
(Riwayat Muslim juz 11, hlm 15)
Ahh.. bukankah kita sendiri meraikan ulang tahun kelahiran sendiri ? Ibu dan ayah. Bahkan ada pula golongan yang meraikan kelahiran ‘mujaddid’ mereka sendiri ? Jika kita sendiri pun menyambut hari ulang tahun perkahwinan, hari lahir diri dan juga orang lain. Mengapa kita tidak menyambut hari kelahiran manusia agung yang pengutusannya ke muka bumi ini memberi rahmat kepada sekalian alam ?
Saidina Umar radiyaLlahu ‘anhu berkata kepada Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam :
“Engkau lebih aku cintai daripada segala sesuatu kecuali diriku sendiri”. Baginda sallaLlahu ‘alaihi wasallam berkata : “Tidak, wahai Umar. Sampai aku lebih kamu cintai daripada dirimu sendiri.” Saidina Umar radiyaLlahu ‘anhu berkata, “Demi Allah subahanahu wa ta’ala, engkau sekarang lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Baginda sallaLlahu ‘alaihi wasallam berkata, “Sekarang wahai Umar.”
(Hadith Riwayat Bukhari, Sohih Bukhari, vol 6 hlmn 2445)
3. Maulidul Rasul itu tidak pernah dibuat oleh RasuluLLah dan ia bid’ah sesat ?
Ada dalil umum bagaimana RasuluLlah sendiri pernah menyebut mengenai hari-hari kebesaran contohnya :
Bahawasanya Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, maka Baginda sallaLLahu ‘alaihi wasallam mendapati di situ orang-orang Yahudi berpuasa pada Hari Asyura iaitu hari 10 Muharram, maka Nabi bertanya kepada orang Yahudi itu: Kenapa kamu berpuasa pada hari Asyura ?
Jawab mereka : ini adalah hari peringatan, pada hari serupa itu dikaramkan Fir’aun dan pada hari itu Musa dibebaskan, kami puasa kerana bersyukur kepada Tuhan. Maka RasuluLlah bersabda : Kami lebih patut menghormati Musa dibanding kamu”
(Hadith riwayat Imam Bukhari dan Muslim).
Banyak sebenarnya perkara yang tidak pernah dibuat oleh RasuluLlah tetapi dilakukan oleh sahabat dan para salafussoleh melalui ijtihad mereka dalam perkara ibadah contoh yang senaraikan oleh bekas Mufti Iraq iaitu Sheikh Abdul Malik Abdul Rahman as Sa’adi :
1. Nabi sallaLLahu ‘alaihi wasallam pernah menyamakan (qiyas) hukum menunaikan haji dan berpuasa untuk seorang yang telah mati dengan hutang terhadap hamba ALlah yang ia wajib tunaikan. (Fath al Bari, jld 4, m.s 64)
Walaupun ini tidak dianggap hukum yang telah ditetapkan oleh qiyas tetapi dengan nas, kerana RasuluLlah sallaLLahu ‘alaihi wasallam diberi kebenaran untuk mengeluarkan hukum, tetapi ini sebenarnya baginda telah membuka satu peluang atau laluan atau pintu kepada umatnya secara umum akan keharusan menggunakan qiyas. Terutama di dalam persoalan ibadah khusus kerana haji dan puasa adalah di antara bentuk ibadah.
2. Saidina Umar berpendapat bahawa tidak batal puasa seseorang yang berkucup dengan isterinya, kerana mengqiyaskan dengan berkumur-kumur ketika berpuasa. (Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan al Baihaqi).
3. Dalam menetapkan satu miqad baru iaitu Zatu Irq bagi jemaah Haji atau Umrah yang datang dari sebelah Iraq, Saidina Umar mengqiyaskannya dengan tempat yang setentang dengannya iaitu Qarn al Manazil. Sedangkan RasuluLlah sallaLlahu ‘alaihi wasallam hanya menetapkan empat tempat sahaja sebagai miqat tetapi Saidina Umar menambah satu lagi iaitu Zatu Irq (menjadi lima). (Lihat al Mughni, jld 3, m.s 3 258 dan Fath al Bari m.s 389)
4. Saidina Uthman mewujudkan azan dua kali (pertama dan kedua) pada hari Jumaat diqiyaskan dengan azan 2 kali pada solat subuh dengan alasan bahawa azan yang pertama pada Solat Subuh disyariatkan pada zaman RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam untuk mengejutkan mereka yang sedang tidur, maka begitu juga azan yang pertama pada solat Jumaat untuk mengingatkan mereka yang sedang sibuk berniaga di pasar dan yang bekerja (Nailul al Authar : 3/322)
5. Jumhur ulama mengharuskan dua solat sunat yang bersebab pada waktu yang makruh diqiyaskan dengan solat sunat selepas Zohor yang diqadha’ oleh RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam selepas Solat Asar ( Lihat al Nawawi, Syarah sahih Muslim: 6/111)
6. Sebilangan besar pada ulama berpendapat, menyapu tangan sampai ke siku ketika tayammum adalah wajib diqiyaskan dengan membasuh kedua tangan ketika berwudhuk. (Lihat Mughni al Muhtaj:1/99 dan al Mughni: 1/204)
7. Bagi ulama yang berpendapat bahawa solat sunat sebelum Solat Jumaat adalah sunat muakkad mengqiyaskan dengan solat sunat sebelum Zohor. Manakala sebilangan ulama lain di antaranya Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim berpendapat bahaya ia adalah sunat (sunat mutlak bukannya sunat muakkad) mengqiyaskannya dengan solat sunat hari raya yang tidak ada solat sunat (muakkad) sebelum solat tersebut. ((Al Fatawa: 24/194)
8. Sesetengah ulama bermazhab Hanafi mengqiyaskan air yang banyak yang tidak terjejas apabila jatuh najis ke dalamnya dengan air laut dari segi banyaknya. (al Mushili, al Ikhtiyar: 1/14)
9. Para ulama bermazhab Hambali mengharuskan ganti dengan memberi makanan sebagai kaffarat bunuh (yang tidak sengaja), kerana mengqiyaskannya dengan kaffarat zihar dan kaffarat jimak pada siang hari Ramadhan (Al Mughni: 8/97)
10. Menurut Imam Ahmad dalam satu riwayat daripadanya, dibasuh setiap benda yang terkena najis sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan air tanah, kerana beliau mengqiyaskannya dengan sesuatu yang terkena najis anjing atau babi (Al Mughni: 1/54-55)
11. Menurut Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, diwajibkan berdiri sekadar yang termampu bagi sesiapa yang tidak mampu berdiri dengan sempurna ketika solat samada kerana ketakutan atau kerana atap hendak roboh diqiyaskan dengan hukum berdiri seorang yang bongkok. (Al Mughni: 2/144)
12. Imam Malik berpendapat, diharuskan melewatkan solat bagi mereka yang ketiadaan air diqiyaskan dengan seorang perempuan yang kedatangan haid yang diharuskan melewatkan solatnya (al Mughni: 1/250)
13. Imam Abu Hanifah dan Imam asy Syafie berpendapat, sah tayammum bagi seorang yang berhadas besar dengan niat mengangkat hadas kecil diqiyaskan dengan sahnya wudhuk selepas membuang air kecil atau besar (walaupun tanpa niat untuk mengerjakan solat). (Al Mughni: 1/267)
14. Imam Malik membolehkan qadha’ solat malam yang terluput, iaitu dikerjakannya selepas terbit fajar sebelum solat Subuh diqiyaskan dengan solat witir. Tetapi ini adalah salah satu pendapat Imam Malik berhubung dengan masalah ini. (al Mughni:2/120)
15. Imam Abu Hanifah, Ath Thauri dan Al Auza’ie membolehkan lewat solat bagi mereka yang tidak menemui air dan tanah sehinggalah menemuinya, kemudian mengqadha’nya diqiyaskan dengan melewatkan puasa bagi wanita yang kedatangan haid (Al Mughni: 1/267)
Ini hanya sebahagian kecil daripada sebilangan besar persoalan ibadah yang dikeluarkan hukumnya berdasarkan kaedah qiyas. Qiyas ini adalah ijtihad dan pandangan. Oleh itu, sesiapa yang melarang menggunakan qiyas di dalam ibadah secara mutlaq, maka pendapatnya tidak dapat diterima sebagaimana yang dinyatakan tadi.
Ibnu Umar radiyaLlahu anhu berpendapat, solat Sunah Dhuha tidak digalakkan di dalam syariat Islam melainkan bagi mereka yang tiba dalam permusafiran. Beliau hanya mengerjakannya ketika tiba di Masjid Quba. Ini diriwayatkan oleh Al Bukhari daripada Mauriq katanya :
“Aku pernah bertanya kepada Ibnu Umar RadiyaLlahu ‘anhu.” Adakah kamu bersolat Dhuha? Beliau menjawab “Tidak”, Aku bertanya lagi “Adakah Umar mengerjakannya?” Beliau menjawab “Tidak”. Aku bertanya lagi ” Abu Bakar?” Jawabnya: “Tidak” Aku bertanya lagi: “RasuluLLah sallaLLahu ‘alaihi wasallam?” Jawabnya “Aku tidak pasti”.
Menurut al Hafiz Ibnu Hajar al Asqolani:
“Sebab tawaqqufnya Ibnu Umar pada masalah itu kerana beliau pernah mendengar daripada orang lain bahawa RasuluLlah sallaLlahu ‘alaihi wasallam pernah mengerjakannya tetapi beliau tidak begitu mempercayai perkara itu daripada seorang yang menyebut kepadanya.”.
Maka, beliau menganggap solat Dhuha adalah di antara bid’ah yang baik sepertimana yang diriwayatkan oleh Mujahid daripada beliau (Ibnu Umar).
Menurut Al A’raj:
“Aku pernah bertanya Ibnu Umar berkenaan Solat Sunah Dhuha? Beliau menjawab: “Ia adalah bid’ah dan sebaik-baik bid’ah”
. (Fath al Bari: 3/52)
Sepertimana yang telah dinyatakan daripada Ibnu Umar tadi, membuktikan bahawa perkara-perkara yang baharu diwujudkan dalam ibadah memang berlaku dan diakui oleh pada sahabat RadiyaLlahu ‘anhum sendiri.
4. Adakah contoh para salafussoleh yang menyambut maulidul Rasul ?
Prof Dr Ali Jum’ah iaitu Mufti Mesir menjawab begini :
Telah menjadi kebolehan (keharusan) dan tradisi di kalangan salafussoleh sejak abad ke 4 dan ke 5 merayakan peringatan maulid nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam yang agung. Mereka menghidupkan malam maulid dengan pelbagai ketaatan dan ibadah pendekatan kepada Allah seperti memberi makan fakir miskin, membaca al Quran, berzikir, melantunkan puisi-puisi dan puji-pujian tentang rasuluLlah. Hal ini ditegaskan oleh sebilangan ulama seperti : Al Hafizh Ibnu Jauzi, Al Hafizh Ibnu Katsir, Al Hafizh Ibnu Dihyah, al Hafizh Al Hebatusi, Al Hafizh Ibnu Hajar dan Penutup Huffazh (para penghafaz hadith dalam jumlah yang sangat banyak) Jalaluddin Al Suyuthi.
5. Ulamak lain yang membenarkan ?
Dalam kitab al Madkhal, Ibnu Hajj menjelaskan dengan panjang lebar tentang keutamaan yang berkaitan dengan perayaan ini dan dia mengemukakan huraian penuh manfaat yang membuat lapang hati orang yang beriman.
Imam Jalaluddin al Suyuthi dalam bukunya ‘Husnul Maqshid fi Amalil Maulid’ memberikan penjelasan tentang Maulid Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam :
Menurutku, bahawa hukum dasar kegiatan maulid yang berupa berkumpulnya orang-orang yang banyak, membaca beberapa ayat-ayat al Quran, menyampaikan khabar-khabar yang diriwayatkan tentang awal perjalanan hidup Nabi sallaLlahu ‘alaihi wasallam dan tanda-tanda kebesaran yang terjadi pada waktu kelahiran Baginda, kemudian dihidangkan makanan untuk mereka dan emreka pun makan bersama, lalu mereka pun berangkat pulang, tanpa ada tambahan kegiatan lain. Adalah termasuk bid’ah hasanah dan diberikan pahala bagi orang yang melakukannya. Imam para hafizh Abu Fadhl Ibnu Hajar telah menjelaskan dasar hukumnya sunnah.
Imam Abu Syamah berkata :
Suatu hal yang baik ialah apa yang dibuat pada tiap-tiap tahun bersetuju dengan hari maulud Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam memberi sedekah, membuat kebajikan, maka hal itu selain berbuat baik bagi fakir miskin, juga mengingatkan kita untuk mengasihi junjungan kita Nabi Muhammad sallaLlahu ‘alaihi wasallam membesarkan beliau, dan syukur kepada Tuhan atas kurniaanNya, yang telah mengirim seorang Rasul yang dirasulkan untuk kebahagiaan seluruh makhluk
(I’anatut Tholibin, juzu’ III, halaman 364) – Imam Abu Syamah adalah seorang ulamak besar Mazhab Syafie dan merupakan guru kepada Imam An Nawawi.
Ya Allah jadikanlah kami senantiasa menyintai Nabi Muhammad sallaLLahu ‘alaihi wasallam
- Pembacaan solawat pada Nabi SAW yang mana keutamaannya sudah tidak diragukan lagi. Di isi dengan sejarah nabi ketika berdakwah, cerita kelahiran beliau dan wafatnya. Sehingga dengan kajian inilah seorang muslim memperoleh gambaran tentang haqiqat Islam secara paripurna yang tercermin dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
- Peringatan tersebut merupakan sebab atau sarana yang mendorong kita untuk bershalawat pada beliau sehingga termasuk melakukan perintah Allah :
- menceritakan tentang sopan santun dan tingkah laku yang terpuji sehingga seorang muslim akan termotifasi untuk mengikuti perilaku Beliau SAW. Apa lagi diselingi dengan pengajian agama, membaca Al-Quran, bersedekah dan ritual-ritual yang mendapat legalitas dari syariah.[2]
Sumber rujukan :
1. Prof Dr Ali Jum’ah, Penjelasan Terhadap Masalah-masalah KhilafiahAl Bayan – Al Qawin li Tashbih Ba’dhi al Mafahim, .2008, Penerbitan Dar Hakamah, Selangor
2. K.H Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Pustaka Aman Press, Kelantan, Malaysia
3. As Shiekh al Hafiz Abu al Fadl AbduLlah al Siddiq al Ghumari, Makna Sebenar Bid’ah Satu Penjelasan Rapi, Cetakan 2007, Middle East Global (M) Sdn. Bhd, Selangor.
4. Dr Abd Malik Abd Rahman As Sa’adi, Salah Faham Terhadap Bid’ah, al Bid’ah fi al mafhum al islami ad daqiq, Darul Nu’man, 2002, Kuala Lumpur
semoga bermanfaat.
Aa Ikhwan
Mei 25, 2012 @ 15:38:21
karena yg membolehkan pun punya dalil dari para ulama,..yg membid’ahkan pun punya dalil dari para ulama..masyarakat awam gak akan faham betul masalah ini kecuali beberapa saudara kita yg memang belajar/penuntut ilmu.
asalkan semua dalil2 tersebut (membolehkan dan yg membid’ahkan) diperolah secara tepat dalam artian memang memeriksa, mengecek, seluruh sumber dalil yg ada maka masyarakat pun berhak memilih argumen manapun karena semua berasal dari penelitian dan pemeriksaan para ulama, dan para ulama yg betul2 itu pastilah bukan ulama yg jahil walaupun tetap saja manusiawi yg gak luput dari salah CMIIW
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 26, 2012 @ 16:12:56
saya sangat senang, jika ada orang yang mau mengkaji hukum islam dengan seimbang, tidak condong kekanan dan kekiri, dari sanalah kita akan terus belajar untuk mencapai khsanah ilmu yang baik…
apa itu maulid? kenapa ada maulid? pentingkah maulid itu? bagimana manfaatnya? siapa ulama yang mendebatkanya? bagaimana ulama itu al hafid atau hujjatul islam? sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya. bandingkan maulid dengan hal yang tidak bermanfaat misal dangdutan, nonton konser, lebih mulia mana? dan pertanyaan pertayaan lainnya sebagai bahan penelitian dan sebagainya..
jika sudah meneliti dan mengkaji maka diperolehlah kesimpulan yang terbaik,, setelah itu pilihan ditangan masing2..
semoga Allah sellau menuntun kita ke jalan yg lurus..
SukaSuka
senitea
Mei 25, 2012 @ 15:38:29
bener tuh mas..
apa yang sudah dipaparkan, mudah-mudahan dimengerti oleh semuanya..
saia sendiri masih dhaif, istilah yang terkenal disaia yaitu ‘muludan’.
malah ada temannya teman saia, kalo ntar nyari calon istri ditanya dulu..
suka ikut ‘muludan’ gak…kalo gak suka, berarti ‘bypass’..
itu juga membuktikan bahwa kita cinta terhadap rasulullah saw..
kalo masalah bid’ah ataupun tidak, saia serahkan pada yang ahlinya saja.
mudah-mudahan diberikan hidayah-Nya..aamiin
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 26, 2012 @ 16:05:33
dalam masa rasulullah, maulid itu tersirat… artinya tidak serta merta terlihat itu maulid..
Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)
maulid itu membaca sejarah nabi saw, sperti hal engkau membaca sejarah presiden soekarno, jika dari kecil sampai besar engkau tidak pernah membaca sejarah presiden soekrano, mana mungkin engkau mengenal beliau apalagi mencintai beliau, nah seperti halnya maulid… orang membidahkan lantaran terkesan baru, padahlal sejarah itu sangat penting,,, coba baca terjemahan kitab maulid… dimanakah letak bidahnya?… wong banyak sekali manfaaatnya…
SukaSuka
rusmanjay
Mei 25, 2012 @ 16:11:48
tdk usah jengkel masbro. dlm mempelajari agama kita harus merujuk beberapa dalil. kalau menurut dalil yg kita percaya benar kita laksanakan dan kalau ternyata bid’ah tdk usah berkecil hati masih banyak sunah2 lain yg dalilnya kuat yg bisa kita laksanakan. pada link (dibawah) ini beberapa alasan bagi yg menolak perayaan maulid.
http://muslim.or.id/manhaj/kumpulan-penjelasan-mengenai-perayaan-maulid-nabi.html
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 26, 2012 @ 16:19:52
saya jengkel bukan dalam arti saya benci kepada orang yang menyatakan maulid itu sesat, bukan, saya jengkel dengan pemilihan kata-kata yang tidak baik, yang mencomooh dengan maksud merendahkan.. itulah yang harus diperbaiki… saya menghargai perbedaan tapi jangan sampai adanya perbedaan itu mengancam ukhuwah islamiah, itulah dinamika yang terjadi… coba kita sama-sama belajar teliti dan mengkaji, apa itu maulid? siapa saja ulama yang membolehkan dan membidahkan? mayoritas ulama boleh atau tidahk? apa sih manfaatnya? besar to tidak? dimana letak madharatnya? dan pertanyaaan lain yang bisa kita teliti..
setelah semuanya dah terkumpul mari kita simpulkan sama-sama, ingat ulama itu dah mahsum ilmunya… dan ulama adalah pewaris para nabi, hujah-hujag mereka bisa dijadikan hukum setelah alquran dan hadist, dan jangn serta merta menggaap yang tidak ada di alquran dan hadist adalah bidah semua, bidah itu apa ? siapa sahabta yang mengawali bidah? bagaimana pandangan ulama?…dari sanalah akan terkumpul jawaban yang paling mendekati kebenaran… semoga Allah karuniakan ilmu yang bermanfaat bagi kita…
SukaSuka
Cuplis
Mei 25, 2012 @ 20:58:58
Mas cba jga cri2 dlil2 yg dpkai oleh sbgian org2 yg mlrangnya…
simple aja kq mas,kta dprntahkan utk brpgang tguh kpd al quran dn sunnah,dn rasul mmrintahkn utk mngkuti sunah bliau dn sunah khulafaur rasyidin…
para sahabt adlh org2 yg pling dkat dngn rasul,yg pling mgrti tntang apa yg dprntahkn rasul, yg pling mncintai beliau…
klau mmang maulid itu baik, mrka psti akn mrayakannya,para shbat psti tdk akn mlakukan prbuatn kcuali yg baik2…
apkh apa yg dajrkn rasul kpda kta kurang, shingga kta prlu mnambahkan ibdah lain???
rasul brsabda,”ssuatu yg baru dlm agama adlh bid’ah,bid’ah adlh sesat,dan sesat adalh nraka tmpatnya…”
bid’ah hasanah…???
bid’ah=sesat
hasanah=baik
“sesat yg baik”……
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 26, 2012 @ 15:51:08
kawanku, Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.
Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.
Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
• Firman Allah : “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (QS Maryam 33)
• Firman Allah : “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (QS Maryam 15)
• Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
• Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
• Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
• Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.
anda jangan menghukumi bidah hsanah langsung dengan arti sesat yang baik, tanpa dulua meninjau dalil kenapa dengan maulid? apa itu maulid? kenapa harus ada maulid? coba anda beli terjemahan kitab maulid terus baca apa yang ada rasakan? pentingkha atau tidak? setelah bacaa baru kita diskusi lagi…
SukaSuka
raya
Mei 25, 2012 @ 21:23:23
soal bidah kan menyangkut diri sendiri karena tanggungjawab pada Allah SWT adalah perbuatan diri sendiri. kalo dia menganggap suatu perbuatan adalah bidah, berarti dia takut kepada Allah SWT sehingga meninggalkan perbuatan yang tidak dicontohkan Nabi. toh dia tidak memaksa kita ikut menganggap bidah dan memaksa kita meninggalkan bidah tsb. biasanya yang menganggap bidah berpikir, jika ada pahala, dia tidak mendapat pahala (pahala bisa didapat dari ibadah wajib/sunah yang jelas dalilnya). tapi jika ternyata beneran bidah, dia jelas tidak dapat dosanya. bagi yang melakukan, kalo ada pahalanya silakan dapatkan, tapi jika ternyata ada dosanya silakan pertanggungjawabkan sendiri.
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 26, 2012 @ 15:56:52
maulid itu apa sih mas? apakah engkau tahu artinya?….
Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.
Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : “oh puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja..”, namun beliau bersabda : “itu adalah hari kelahiranku”, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : “bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?”, maka amir menjawab : “oh itu hari kelahiran saya”. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya,
dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.
Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.
saya sarankan baca terjemahan kitab maulid dulu., misal maulid albarjanji, jika sudah silahkan kemnbali lagi bediskusi denganku..
SukaSuka
Allen
Mei 27, 2012 @ 09:12:00
Tentang Bid’ah
esungguhnya, salah satu ujian terbesar ummat Islam dewasa ini adalah permasalahan “Bid’ah” (yaitu ungkapan dari “suatu jalan/cara dalam agama yang diada-adakan (tanpa dalil) yang menyerupai syari’ah yang bertujuan dengan melakukannya adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala”, lihat Mukhtashar Al-I’tisham hal.7, -pent.), bahkan hal ini telah menyebar ke berbagai negara Islam. Jarang sekali kita jumpai suatu tempat yang di situ terlepas dari masalah bid’ah dan sangat sedikit manusia yang selamat darinya. Perkara bid’ah merupakan masalah yang besar, sangat berbahaya, dan termasuk “pos”nya kekufuran. Pelaku bid’ah telah mencabut hukum Allah, karena itu dia tidak mau berusaha untuk taubat (tidak diberi pertolongan untuk bertaubat).
Berkata ‘Abdullah bin ‘Abbas rodhiyallahu ‘anhu: “Sesungguhnya perkara-perkara yang paling dibenci oleh Allah adalah bid’ah-bid’ah.” (Dikeluarkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubra 4/316)
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy: “Bid’ah itu lebih disukai oleh Iblis daripada kemaksiatan, pelaku maksiat masih ingin bertaubat dari kemaksiatannya (masih diharapkan untuk bertaubat), sedangkan pelaku bid’ah tidak ada keinginan untuk bertaubat dari kebid’ahannya (sulit diharapkan untuk bertaubat).” (Dikeluarkan oleh Al-Laalikaa`iy 1/133 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 7/26 dan Al-Baghawiy dalam Syarhussunnah 1/216)
Pelaku bid’ah -apalagi ahlul bid’ah- sulit untuk bertaubat dikarenakan ia mengira perbuatannya baik, dan dengan perbuatan bid’ahnya itu dia bermaksud untuk mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Oleh karena itu pelaku bid’ah tidak pernah berfikir untuk bertaubat kepada Allah dari perbuatannya bahkan dengan kebid’ahannya tersebut ia mengharapkan pahala. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَناً
“Maka apakah orang yang dijadikan (syaithan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaannya itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaithan)?” (Faathir:8)
Berbeda dengan orang yang berbuat maksiat, ia merasa sedikit amalannya dan jelek perbuatannya, sehingga jika datang nasehat padanya segera ia akan bertaubat -bi`idznillaah-. Akan tetapi keduanya, pelaku bid’ah dan maksiat, apabila mau bertaubat, sesungguhnya Allah Maha Mengampuni dosa dan Menerima Taubat hamba-Nya dan memaafkan kejelekan-kejelekannya. Kita minta kepada Allah subhanahu wa ta’ala keselamatan, ‘afiyah, taufiq dan hidayah. Amin!
Dalil-dalil Bahwasanya Semua Bid’ah Adalah Sayyi`ah (Tercela), Tidak Ada Hasan (Kebaikan) Sedikitpun Padanya
Dalil ke-1: Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (Al-Maa`idah:3).
Berkata Al-Imam Malik bin Anas: “Barangsiapa mengada-adakan di dalam Islam suatu kebid’ahan yang dia melihatnya sebagai suatu kebaikan maka sungguh ia telah menuduh bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhianati risalah, karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah berfirman: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Kucukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” Maka apa-apa yang tidak menjadi agama pada hari itu, maka tidak menjadi agama pula pada hari ini.” (Al-I’tisham, Al-Imam Asy-Syathibiy 1/64)
Berkata Asy-Syaukaniy: “Maka, sungguh apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya sebelum mematikan Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana dengan pendapat orang yang mengada-adakan setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyempurnakan agama-Nya?! Seandainya sesuatu yang mereka ada-adakan termasuk dalam urusan agama menurut keyakinan mereka, berarti belum sempurna agama ini kecuali dengan pendapat mereka, ini berarti mereka telah menolak Al-Qur`an. Dan jika apa yang mereka ada-adakan bukan termasuk dari urusan agama, maka apa faedahnya menyibukkan diri dengan sesuatu yang bukan dari urusan agama??
Ini adalah hujjah yang terang dan dalil yang agung, tidak mungkin orang yang mengandalkan akalnya dapat mempertahankan hujjahnya selama-lamanya. Maka jadilah ayat yang mulia ini (Al-Maa`idah:3) sebagai hujjah yang pertama kali memukul wajah ahlur ra`yi (orang yang mengandalkan dan mendahulukan akalnya daripada wahyu) dan menusuk hidung-hidung mereka dan mematahkan hujjah mereka.” (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatil Ijtihaad wat Taqliid hal.38)
Dalil ke-2: Dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khuthbahnya: “Ammaa ba’d, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no.867)
Dalil ke-3: Dari ‘Irbadh bin Sariyah rodhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang mendalam, yang karenanya berlinanganlah air mata (karena terharu) dan membuat hati kami bergetar. Seseorang dari kami berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barangsiapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudahku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no.4607, At-Tirmidziy no.2676 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.2546)
Berkata Ibnu Rajab: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)” merupakan kata (qa’idah) yang menyeluruh dan tidak ada pengecualian sedikitpun (dengan mengatakan, “Ada Bid’ah Hasanah”, pent.) dan merupakan dasar yang agung dari dasar-dasar agama.” (Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih hal.549)
Berkata Ibnu Hajar: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)” merupakan qa’idah syar’iyyah yang menyeluruh baik lafazh maupun maknanya. Adapun lafazhnya, seolah-olah mengatakan: “Ini hukumnya bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat.”
Maka, bid’ah tidak termasuk bagian dari syari’at, karena semua syari’at adalah petunjuk (bukan kesesatan, pent.), apabila telah tetap bahwa hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka berlakulah “semua bid’ah adalah sesat” baik secara lafazh maupun maknanya, dan inilah yang dimaksud. (Fathul Baary 13/254)
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin: “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ” Kullu bid’atin= semua bid’ah” maknanya menyeluruh, umum, mencakup dan didukung dengan kata yang kuat, mencakup dan umum pula yaitu lafazh ” Kullu=semua”. Maka segala sesuatu yang didakwahkan sebagai bid’ah hasanah, jawabannya adalah dengan kata di atas, sehingga tidak ada pintu masuk bagi ahlul bid’ah untuk menjadikan bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah. Dan di tangan kami ada pedang yang sangat tajam dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni (Kullu bid’atin dholaalah). Pedang yang sangat tajam ini dibuat di atas nubuwwah dan risalah, dan tidak dibuat di atas sesuatu yang goyah. Dan bentuk (kalimat yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ini sangat jelas, maka tidak mungkin seseorang menandingi pedang yang tajam ini dengan mengatakan adanya bid’ah hasanah sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (Kullu bid’atin dholaalah =semua bid’ah adalah sesat). (Al-Ibdaa’ fii Kamaalisy Syar’i wa Khathiiri Al-Ibtida’ oleh Ibnu ‘Utsaimin hal.13)
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat dan bahwasanya tidak ada pada bid’ah-bid’ah tersebut sesuatu yang dianggap baik sebagaimana yang disangka oleh sebagian ulama. Bahkan seluruh bid’ah adalah sesat, maka barangsiapa yang menyangka bahwasanya ada suatu bid’ah dari bid’ah-bid’ah yang ada sebagai suatu kebaikan, maka hal itu (bid’ah yang dia sangka sebagai kebaikan) tidak lepas dari salah satu dari dua perkara, yang pertama bahwasanya hal itu bukan bid’ah dan ia menyangkanya sebagai bid’ah atau kemungkinan yang kedua bahwasanya hal itu bukanlah kebaikan dan ia menyangkanya kebaikan. Adapun adanya bid’ah dan kebaikan (berbarengan/menyatu pada suatu keadaan yaitu menganggap adanya bid’ah hasanah) maka ini adalah perkara yang mustahil, karena bertentangan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “(Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat)”. (At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.73)
Dalil ke-4: Dari ‘Aisyah berkata: Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang mengada-adakan (sesuatu yang baru) dalam urusan (agama) kami ini, apa-apa yang tidak ada darinya (tidak kami perintahkan, pent.) maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhariy no.2697 dan Muslim no.1718)
Berkata Asy-Syaukaniy: “Hadits ini termasuk qa’idah-qa’idah agama, karena termuat di dalamnya banyak hukum yang tidak bisa dibatasi. Betapa jelas sumber dalil untuk membatalkan ahli fiqh yang berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi beberapa bagian, dan penolakan mereka secara khusus tentang sebagian di dalamnya, sementara tidak ada pengkhususan (yang dapat diterima) baik dari dalil ‘aqli (logika) maupun naqli (dari Al-Qur`an & As-Sunnah, pent.). (Nailul Authaar 2/69)
Dalil ke-5: Dari ‘Abdullah bin ‘Ukaim, bahwasanya ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah perkataan Allah dan sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, ketahuilah sesungguhnya setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan ada di neraka.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ hal.13 dan Al-Laalikaa`iy hadits ke 100 (1/84))
Dalil ke-6: Berkata ‘Abdullah bin Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu: “Ittiba’lah (mengikutlah) dan janganlah kalian berbuat bid’ah, maka sungguh telah cukup bagi kalian dan semua bid’ah adalah sesat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah hadits no.175 (1/327, 328) dan Al-Laalikaa`iy hadits no.104 (1/86))
Dalil ke-7: Berkata ‘Abdullah bin ‘Umar rodhiyallahu ‘anhu: “Semua bid’ah adalah sesat, walaupun manusia memandangnya sebagai kebaikan.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibanah hadits no.205 (1/339) dan Al-Laalikaa`iy hadits no.126 (1/92))
Penutup dan Kesimpulan
Setelah disebutkan dalil-dalil bahwa bid’ah itu seluruhnya tercela dan jahat, nampaklah dengan jelas bahwa pendapat adanya bid’ah hasanah adalah pendapat yang bathil, menyelisihi nash-nash dan atsar (riwayat-riwayat) yang ada.
Pada penutup ini akan dipaparkan enam point dari sepuluh point (yang ada dalam kitab Al-Luma’ fir Raddi ‘alal Muhsinil Bida’) yang hanya dengan mengamati salah satu dari keseluruhannya saja sudah cukup untuk menjelaskan kebathilan pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah -Insya Allah-. Maka bagaimana jika seluruhnya terkumpul, apalagi kalau disertai dalil-dalil yang telah disebutkan terdahulu. Oleh karenanya tidak akan tersisa satu syubhatpun bagi ahlul bid’ah, tidak juga satu ucapanpun. Maka perhatikanlah point-point tersebut dengan berurutan, dari pertama sampai yang berikutnya.
Pertama: Bahwa dalil-dalil yang mencela bid’ah sifatnya adalah umum, tidak terkhususkan, bersamaan dengan itu, jumlahnya banyak dan tidak ada perkecualian sama sekali. Tidak ada dari dalil-dalil tersebut yang menentukan bahwa di antara bid’ah-bid’ah itu ada yang sifatnya sebagai Al-Huda (petunjuk) dan tidak pernah datang riwayat yang mengatakan: “Bahwa semua bid’ah sesat kecuali itu dan itu”, serta tidak ada sedikitpun nash-nash yang bermakna seperti itu. Maka jika di sana ada bid’ah yang menurut pandangan syari’ah adalah “hasanah”, niscaya akan disebutkan oleh ayat atau hadits, akan tetapi itu tidak pernah didapati. Hal ini menunjukkan bahwasanya dalil-dalil yang banyak jumlahnya tersebut harus dipahami menurut zhahir dari nash-nash itu yang sifatnya umum dan menyeluruh untuk semua bid’ah yang tidak seorangpun bisa terlepas (menghindar) dari ketentuan ini. (Lihat Al-I’tisham 1/187)
Kedua: Bahwasanya telah “terkonsep” dalam qa’idah Ushul ‘ilmiyyah (Ushul Fiqh, pent.), bahwa setiap qa’idah yang menyeluruh atau dalil-dalil syar’i yang menyeluruh bila terulang dalam berbagai keadaan, di segala waktu dan suasananya yang berbeda, kemudian bersamaan itu tidak diiringi dengan sesuatu yang mengkhususkan atau mengikat (mengecualikan, pent.), maka ini adalah petunjuk atas tepatnya, bahwa dalil-dalil yang ada berlaku menurut ketentuan zhahir lafazhnya yang mutlak dan umum. Dari sisi inilah datangnya hadits-hadits yang mencela dan mengingatkan dari bid’ah (yaitu mutlak, umum dan menyeluruh, pent.).
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang dari mimbarnya di hadapan khalayak ramai di antara muslimin di berbagai waktu dan suasana yang berbeda-beda bahwasanya: “Seluruh bid’ah itu sesat”, tidak pernah datang dalam ayat atau hadits yang mengecualikan atau mengkhususkan, serta tidak juga datang dalil yang bisa dipahami menyelisihi zhahir nash-nash yang ada yang sifatnya umum dan menyeluruh. Maka ini adalah bukti yang jelas bahwa nash tersebut berlaku menurut keumumannya tanpa terkecuali.
Ketiga: Salafush Shalih dari kalangan shahabat, tabi’in dan ulama-ulama sesudahnya telah sepakat (ijma’) atas pencelaan terhadap bid’ah, menghinakannya dan menjauhkannya serta menjauhi siapa saja yang teracuni dengan bid’ah tersebut, juga tidak terjadi pada mereka itu sikap berpangku tangan terhadap perkara ini, tidak pula ada pengecualian dari mereka tentang bahaya dan jeleknya bid’ah. Maka sikap ini -sepanjang pengamatan- merupakan ijma’ ulama yang telah baku yang menunjukkan bahwa bid’ah itu seluruhnya tercela, tidak ada kebaikan padanya sedikitpun. (Al-I’tisham 1/188)
Keempat: Bahwasanya bid’ah hanya bergantung pada bid’ah itu sendiri (sama sekali tidak tergantung/bersumber pada syari’ah, pent.). Karena bid’ah merupakan sikap menyaingi dan membuang syari’at, maka segala sesuatu yang keadaannya seperti itu mustahil untuk dipilah-pilah menjadi baik dan jelek (karena semua bid’ah adalah jelek, pent.), atau tidak mungkin di sana ada sebagian yang terpuji dan sebagiannya tidak terpuji, karena tidak dibenarkan baik secara dalil ‘aqli maupun naqli untuk menganggap baik suatu perkara yang menyelisihi syari’ah.
Kelima: Bahwasanya pernyataan bid’ah hasanah akan membuka pintu kebid’ahan untuk orang masuk ke dalamnya, kemudian tidak mungkin membantah apapun bid’ahnya, karena setiap pelaku akan mengaku bahwa amalan bid’ahnya “hasanah”. Maka orang-orang Rafidhah akan mengatakan tentang bid’ahnya dengan “bid’ah hasanah”, demikian pula (pengikut) Mu’tazilah, Jahmiyyah, Khawarij dan selain mereka (dari kalangan ahlul bid’ah). Sebaliknya wajib atas kita untuk membantah mereka dengan hadits (Kullu bid’atin dholaalah = semua bid’ah adalah sesat).
Keenam: Apa patokan dalam menyatakan baiknya bid’ah? Dan siapa yang ucapan atau pendapatnya dipakai rujukan dalam hal ini?
Bila dikatakan: “Patokannya adalah harus sesuai dengan syari’ah”. Kita katakan: “Segala yang sesuai dengan syari’ah sama sekali bukan bid’ah”. Kalau dikatakan: “Rujukannya adalah akal”. Kita jawab: “Akal itu berbeda-beda dan berlainan, maka akal yang mana yang digunakan sebagai rujukan itu? Dan mana yang akan diterima hukumnya? Karena semua pelaku bid’ah akan menyangka bahwa amalan bid’ahnya hasanah (baik) menurut akal?!!!
Tulisan ini sekaligus sebagai jawaban terhadap pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan “bid’ah hasanah”. Wallaahu a’lamu bish Shawaab.
Diringkas dari kitab Al-Luma’ fir Raddi ‘alal Muhsinil Bida’ karya ‘Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir As-Sahaibaniy, dengan sedikit perubahan dan tambahan
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 27, 2012 @ 12:30:16
kawanku… dimana letak hujah-hujah para ulama….
apa membaca sholawat itu bidah? apa membaca quran itu bidah? padahal apa yang didalam maulid adalah membaca sholawat dan maulid, dimana letak bidahnya?… kawan jgn mengungkpakan pendapt tapi copy paste saja.. tidak meniliti bahkan paham akan yang dikemukan… saran saya coba teliti maulid dimana letak bidahnya?…membaca quran, membaca maulid apa itu bidah? coba jawab….
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : “aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : “bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)
Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : “Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).
Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.
1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : “hari ini hari ditenggelamkannya Fir’aun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : “kita lebih berhak atas Musa as dari kalian”, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alqur’an, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt “SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA” (QS Al Imran 164)
2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : “Husnulmaqshad fii ‘amalilmaulid”.
3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.
4. Pendapat Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya ‘Urif bitta’rif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : “di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw)” (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alqur’an turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.
5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dg ucapan Imamul Qurra’ Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab
6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata ”tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar”.
7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ”ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw”
8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yg terkenal ”al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, ”Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya”.
9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: ”Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar”.
10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi
dg karangan maulidnya yg bernama ”Attanwir fi maulid basyir an nadzir”
11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
dg maulidnya ”urfu at ta’rif bi maulid assyarif”
12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : ”maulid ibn katsir”
13. Imam Al Hafidh Al ’Iraqy
dg maulidnya ”maurid al hana fi maulid assana”
14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
telah mengarang beberapa maulid : Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arra’iq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.
15. Imam assyakhawiy
dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi
16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah
17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba’
dg maulidnya addiba’i
18. Imam ibn hajar al haitsami
dg maulidnya itmam anni’mah alal alam bi maulid syayidi waladu adam
19. Imam Ibrahim Baajuri
mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar
20. Al Allamah Ali Al Qari’
dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi
21. Al Allamah al Muhaddits Ja’far bin Hasan Al barzanji
dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji
23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
dg maulid Al yaman wal is’ad bi maulid khair al ibad
24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
dg maulid jawahir an nadmu al badi’ fi maulid as syafi’
25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
dg maulid al maulid mustofa adnaani
26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi”
27. Syihabuddin Al Halwani
dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif
28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
dg maulid Al Kaukab al azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar
29. Asyeikh Ali Attanthowiy
dg maulid nur as shofa’ fi maulid al mustofa
30. As syeikh Muhammad Al maghribi
dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.
Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.
SukaSuka
sijidewe aka snalpot99
Mei 27, 2012 @ 11:22:17
simple mas bro kalo ketemu teman yg begitu.. saya paling komentar silahkan belajar..belajar..belajar lagi.. 🙂 ilmu itu luas pelajari & hayati lagi..
soalnya kadang sampai ngotot2an capek doang
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 27, 2012 @ 12:38:08
untuk mau berkomentar… silahkan baca ini dulu…
Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan,
dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bid’ah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bid’ah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bid’ah hasanah,
Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)
Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syar’an (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa “Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib”, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.
contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .
contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.
Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.
Sebagaimana penulisan Alqur’an yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alqur’an, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alqur’an dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.
Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafa’urrasyidin, sahabat radhiyallahu’anhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.
SukaSuka
temonsoejadi
Mei 27, 2012 @ 12:41:56
untuk yang berkomentar maaf saya tidak akan membalas komentarnya lagi, karena jika engkau membaca dari atas hingga bawah. itu sudah cukup sekedar jawaban.. mari jaga ukhuwah islamiah tetap terjaga dengan baik…
semoga Allah merahmati hidup kita dan keluarga kita… Amien..
terima kasih atas diskusinya….
SukaSuka
temonsoejadi
Sep 26, 2012 @ 09:33:55
sebelum berkomentar alangkah baiknya membaca ini dulu..
https://temonsoejadi.wordpress.com/2012/06/09/apa-sih-bidah-itu/
suwun…
SukaSuka
orang baik
Okt 26, 2012 @ 10:16:37
KH. Mustafa Bisri : “Aku Harus Bagaimana ?”
aku pergi tahlil, kau bilang itu amalan jahil
aku baca shalawat burdah, kau bilang itu
bid’ah
lalu aku harus bagaimana…?
aku bertawasul dengan baik, kau bilang aku
musrik
aku ikut majlis zikir, kau bilang aku kafir
lalu aku harus bagaimana…?
aku shalat pakai lafadz niat, kau bilang aku
sesat
aku mengadakan maulid, kau bilang tak ada
dalil yang valid
lalu aku harus bagaimana…?
aku gemar berziarah, kau bilang aku alap-
alap berkah
aku mengadakan selametan, kau bilang aku
pemuja setan
lalu aku harus bagaimana…?
aku pergi yasinan, kau bilang itu tak
membawa kebaikan
aku ikuti tasawuf sufi, malah kau suruh aku
menjauhi
ya sudahlah… aku ikut kalian…
kan ku pakai celana cingkrang, agar kau
senang
kan kupanjangkan jenggot, agar dikira
berbobot
kan ku hitamkan jidat, agar dikira ahli ijtihad
aku kan sering menghujat, biar dikira hebat
aku kan sering mencela, biar dikira mulia
ya sudahlah… aku pasrah pada Tuhan yang
ku sembah
SukaSuka
orang baik
Okt 26, 2012 @ 10:19:21
Aku seorang wahabi …
Ciriku tanda hitam di dahi …
Aku ibadah dimalam sunyi …
Celanaku cingkrang seperti tukang sapi …
Kupelihara jenggot ikut sunah nabi …
Aku tak tahu imam Syafi’i …
Aku tak tahu imam Maliki …
Aku tak kenal imam Hanafi …
Apalagi imam Hambali …
Aku tafsir Qur’an & Hadits sesuka hati …
Karena aku tak pernah ngaji …
Aku tak mau ikut mahzab islami …
Pokoknya aku bikin mahzab sendiri …
Aku bisa mengambil hukum sendiri …
Dengan modal buku dari Saudi …
Akulah mujtahid abad ini …
Imam syafi’i dan Imam Bukhari ingin aku saingi …
Jika pendapat mereka tidak sesuai, bisa aku evaluasi …
Akulah standar kebenaran hukum islami …
Aku sering beralasan dengan tindakan nabi …
Tapi aku tak mau memuliakan turunan nabi …
Aku sering berkata ikut nabi …
Tapi kuremehkan sahabat nabi …
Aku pun tak mau ikut maulid nabi …
Bahkan tak mau kuziarahi kubur nabi …
Ya Allah … Bagaimanakah nasibku nanti … ?
SukaSuka
Hukum Sambutan Maulidur Rasul – akuwebhost002
Des 14, 2016 @ 11:33:24
Hukum Sambutan Maulidur Rasul – 1Malaysia
Des 14, 2016 @ 11:54:18