bismillahirahmanirahim

kawanku semua yang berbahagia,  Allah ada di mana-mana. Ya, bahkan di aliran darah kita. Allah itu “Mahadekat”. Allah ada di lautan, di daratan, di langit, di sungai, di sawah, di bukti, di gunung, di rumah, di kantor, di mobil, di pesawat, di kapal dan dimana saja. Allah ada di tengah-tengah kita.

Sudah lama dan sering saya dengar dari guru-guru yang menceritakan kisah Ibnu Umar dengan seorang pengembala kambing, terutama saat menjadikannya dalil tentang bolehnya menyatakan ”di mana Allah”  sebagai bantahan terhadap klaim sebagian orang yang mengatakan tidak boleh bertanya atau mengatakan ”dimana Allah”

Tapi kali ini fokus bahasannya bukan masalah itu melainkan renungan akan makna dan kandungan hadits dalam kehidupan sehari-hari

sebuah kisah menarik penuh makna….

Pernah mendengar kisah ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Khatthab dan seorang penggembala? Kisah ini sangat masyhur. Mari kita lihat dialog mereka!

Abu Nashr bin Qatadah mengabarkan kepada kami, Abu Ahmad Al Hafizh menceritakan kepada kami, Abu Al Abbas Ats-Tsaqafi mengabarkan kepada kami, Qutaibah menceritakan kepada kami, dia berkata, Al Khunaisi yakni Muhammad bin Yazid bin Khunais menceritakan kepada kami, dari Abdul Aziz bin Abi Rawwad, dari Nafi’, dia berkata, “Ibnu Umar keluar ke salah satu pelosok kota Madinah bersama beberapa orang sahabatnya.

Lalu mereka meletakkan bekal makanan untuknya. Kemudian lewatlah seorang pengembala kambing di hadapan mereka. Si pengembala ini memberi salam dan Ibnu Umarpun berkata padanya, “Hei Pengembala, marilah ke sini makan bersama kami.” Dia menjawab, “Saya sedang puasa.” Mendengar itu Ibnu Umar berkata padanya, “Di hari panas terik begini kamu masih puasa padahal kamu sedang mengembala kambing?” Dia menjawab, “Demi Allah, saya berlomba dengan hari-hari hayalan saya.”

Ibnu Umar kemudian tergerak untuk mengujinya lalu dia berkata, “Maukah kamu menjual sati ekor kambing yang kamu gembalai ini kepada kami, kami memberi kamu uangnya dan membagikan dagingnya kepadamu lalu kamu bisa berbuka puasa dengannya?” Si Pengembala ini menjawab, “Ini bukan kambing saya, ini kambing tuan saya.” Ibnu Umar berkata lagi, “Aku rasa tuanmu tidak akan berbuat apa-apa kalau hilang satu dan kamu katakan dimakan srigala.”

Akhirnya si pengembala ini meninggalkan Ibnu Umar sambil menunjukkan jarinya ke langit dan berkata, “Allah dimana?”

Ibnu Umar lalu mengulang-ngulang kata-kata si pengembala tadi, “Allahnya di mana?!” akhirnya ketika sampai di Madinah dia mengutus orang menemui tuan si pengembala tadi dan membeli kambing beserta si pengembala tersebut (yang tadinya adalah budak –penerj) lalu memerdekakannya dan memberikan kambing-kambing itu untuknya.”

(Syu’ab Al-Iman jilid 7, hal. 223, no. 4908)[1]

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (12/263) dengan redaksi lebih ringkas dengan sanad:

Muhammad bin Nashr Ash-Sha`igh menceritakan kepada kami, Abu Mush’ab menceritakan kepada kami, Abdullah bin Harits Al-Jumahi menceritakan kepada kami, Zaid bin Aslam menceritakan kepada kami, dia berkata, Ibnu Umar melewati seorang pengembala….” Selanjutnya mirip dengan riwayat Al Baihaqi di atas.

Sanad Ath-Thabarani ini shahih:

Zaid bin Aslam memang biasa meriwayatkan dari Abdullah bin Umar yang memang merupakan gurunya. (Lihat Tahdzib Al-Kamal 10/13).

Abdullah bin Harits, tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Al-Haitsami dan Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakannya shaduq sebagaimana dalam At-Taqrib 1/324, no. 3613, Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat dan dia memang biasa meriwayatkan dari Zaid bin Aslam sebagaimana kata Al-Mizzi dalam Tahdzib Al-Kamal jilid 14 hal. 35.

Abu Mush’ab di sini adalah Ahmad bin Abi Bakr bin Harits bin Zurarah bin Mush’ab bin Abdurrahman bin Auf, seorang ahli fikih yang jujur. Lihat At-Taqrib 1/25, no. 18.

Dan guru Ath-Thabarani adalah Muhammad bin Nashr Ash-Sha`igh, Ad-Daraquthni menganggapnya shaduq, ahli ibadah. Lihat Tarikh Bagdad 3/319.

kawanku semua yang dirahmati Allah, Banyak hikmah dan pelajaran yang terkandung dalam kisah Ibnu Umar dan si pengembala ini. Kita akan sangat terharu ketika Ibnu Umar menguji si pengembala yang masih merupakan budak belian ini untuk menghianati majikannya dengan menjual kambing dan membohongi bahwa kambing itu dimakan srigala. Dia menolak dan penuh makna menatap ke langit sambil mengatakan: “Kalau begitu dimana Allah?” Artinya tuan saya memang tak melihat dan bisa saja saya tipu, tapi Allah tetap melihat dan suatu saat di pengadilan akhirat akan memberitahu kepada tuan saya itu dan menuntut saya karenanya.

  Sebuah tingkat keimanan tertinggi ketika seseorang sudah merasa diawasi oleh sang khaliq yang maha mengetahui, sehingga tak berharga semua tawaran duniawi kalau toh akibatnya harus dihukum oleh Allah di akhirat nanti.

Tampak pula kemuliaan hati seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Umar bin Khaththab bersedia mengajak makan sang pengembala miskin yang hanya seorang budak, lalu tergetar hatinya kala mendengar nama Allah disebut dan bersegera menolong agama Allah dengan cara memerdekakan si budak tadi serta memberinya hadiah berupa kambing gembalaan sang budak itu sendiri.

Beginilah kalau takwa selalu dibawa kemana pergi, si budak pengembala tentu tak mengira kalau sikap amanah dan ketakutannya kepada Allah akan diganjar tunai melalui perantaraan Ibnu Umar ra yang membebaskannya dari perbudakan. Tak sampai di situ dia juga tak dipisahkan dari kambing-kambing kesayangan yang telah menjadi teman hidupnya sehari-hari. Biasalah, kalau seseorang sudah lama mengurus suatu benda tentu dia akan sangat sayang pada benda itu meski bukan miliknya. Andai suatu ketika dia harus meninggalkan pekerjaan maka pastilah dia akan selalu terkenang dengan barang yang dia kerjakan.

Satu lagi bukti firman Allah, ”Barangsiapa bertakwa kepada Allah maka Allah akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tak dia sangka…..” (Qs. Ath-Thalaq : 2-3).

Subhanallah. kawan… Di mana Allah? Pertanyaan yang sangat luar biasa. Pertanyaan ini sebenarnya yang menjadi ‘Rem Cakram’ kehidupan kita. Tidak ada rem yang lebih kuat selain qalbu yang hidup: yang mampu merasakan kehadiran Allah, kapan dan di mana saja. Ketika ingin berbuat maksiat, munculkan pertanyaan: “Lalu, di manakah Allah?” Mungkin kita sudah merasa jauh dari Allah. Atau, Allah tidak beserta kita, seolah-olah maksiat kita tidak diawasi oleh-Nya.

Ketika ingin korupsi, lahirkan pertanyaan: “Di manakah Allah?” Dengan begitu niat korupsi dapat dibendung dan dibentengi. Ketika ingin berzina, timbulkan pertanyaan: “Di manakah Allah?” Sehingga niat untuk berzina bisa diurungkan. Pokoknya, setiap perbuatan jahat insya Allah dapat dihindarkan, jika kita benar-benar yakin bahwa Allah itu dekat, Mahamelihat, Mahahadir, Mahadekat, dan “Serba Maha”.

Sebagai penutup refleksi ini, mari kita renungkan kisah menarik lagi di bawah ini….

Al-Mubarak, ayah ‘Abdullah ibn al-Mubarak adalah seorang hamba sahaya kemudian dimerdekakan oleh tuannya. Ia bekerja pada seorang pemilik kebun. Suatu hari, sang pemilik kebun berjalan-jalan ke kebunnya bersama kawan-kawannya. Ia kemudian menyuruh al-Mubarak untuk memetik buah delima yang manis. Setelah dipetik, sang pemilik kebun itu berkata kepada al-Mubarak, “Apakah engkau bisa membedakan mana delima yang manis dan mana yang asam?” Al-Mubarak menjawab, “Bagaimana saya dapat mengetahuinya, sementara Anda belum mengizinkan saya untuk memakannya.” 

begitu taatnya Almubarak pada Allah, meskipun tuanya tidak melihat, namun ia menyadari ada Allah yang maha melihat….

Sang pemilik kebun mengira bahwa al-Mubarak sedang menipunya. Dia lalu bertanya, “Engkau telah menunggu kebun ini sejak sekian tahun dan berkata seperti ini?”

Sang pemilik kebun tadi bertanya kepada para tetangganya perihal al-Mubarak ini. Mereka memberikan kesaksian bahwa al-Mubarak adalah orang baik-baik dan saleh. Dan mereka tidak pernah tahu (melihat) al-Mubarak memakan satu buah delima pun. Akhirnya sang pemilik kebun mendatanginya dan berkata,  “Jika aku mengawinkanmu dengan anakku, siapa yang engkau mau?” Al-Mubarak berkata, “Orang Yahudi mengawinkan anaknya berdasarkan harta. Orang Nasrani mengawinkan anaknya berdasarkan kecantikan. Sementara orang Mukmin berdasarkan “ketakwaan” dan “agama”. Maka lihatlah, Anda ini dari golongan yang mana?” Sang pemilik kebun tadi bertanya kepada al-Mubarak, “Apakah aku dapat menemukan seorang laki-laki untuk anakku yang baik darimu?” Dia kemudian memperkenalkan anak perempuannya kepada al-Mubarak. Al-Mubarak akhirnya –karena salehah dan bertakwa–menerimanya dan membangun rumah tangga bersamanya. Dia akhirnya dikarunia banyak anak, diantaranya adalah ‘Abdullah ibn al-Mubarak rahimahullah.

Subhanallah! kawan…. Lihatlah al-Mubarak. Dia menjaga kesucian dirinya dengan “satu buah delima”. Dia tidak pernah memakannya, padahal sudah bertahun-tahun menjaga kebun delima itu. Kenapa? Dia takut bahwa delima yang dia makan ini “tidak halal”. Karena tuannya tidak pernah mengizinkannya untuk itu. Akhirnya, bukan hanya delima yang dia dapat, melainkan hati sang pemilik kebun delima juga anaknya yang salehah. Allah benar-benar hadir di ‘kebun delima’ itu. Hadir di hati al-Mubarak.

lalu bagaimana dengan kita kawan?…. dapatkah kita bisa meniru seperti iman seorang pengembala maupun iman almubarok?,,,,,

“Ya Allah, ya Rabb, jadikan hati kami selalu ‘sensitif’ dalam merasakan ‘sinyal’ kehadiran-Mu. Hadirlah selalu dalam hati kami. Bimbinglah kami selalu, agar kami senantiasa berada dalam ‘rel’ kebenaran”.

semoga bermanfaat